Mengenal Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Penyair Indonesia Penggubah Estetika Puisi yang Disukai Milenial

9 April 2023, 12:48 WIB
Soetardji Calzoum Bachri, salah satu pemberharu puisi Indonesia yang terkenal dengan puisi mantra dan kredo puisi, tapi disukai oleh banyak penikmat sastra termasuk milenial.*/unpaders.id /

KABAR PRIANGAN - Sutardji Calzoum Bachri adalah penyair Indonesia yang memberikan warna baru pada dunia kesusastraan, khususnya puisi. Ia dianggap sebagai pelopor penyair angkatan 19970an, dan menjadi salah satu ikon penyair Indonesia. Ia juga menjadi pusat sejarah perkembangan puisi Indonesia Abad XX.

Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu penyair yang banyak diminati oleh penikmat sastra Indonesia, dan mempengaruhi banyak penyair generasi muda. Ia menulis puisi modern dengan mengembangkan mantra yang merupakan bentuk puisi tertua di dunia, serta membebaskan kata-kata dengan mengembalikan kata-kata kepada maknanya. Hal tersebut tertuang dalam Kredo Puisi yang ia tulis di Bandung pada 30 Maret 1973.

Dilansir kabar-priangan.com dari buku Sutardji Calzoum Bachri, O Amuk Kapak tiga kumpulan sajak, yang diterbitkan oleh Yayasan Indonesia dan Majalah Horizon, cetakan kedua tahun 2002, Sutardji lahir di Rengat, Riau, 24 Juni 1941.

Baca Juga: Jadwal Imsakiyah dan Sholat Lima Waktu untuk Wilayah Tangerang Tanggal 18 Ramadhan 1444 H

Ia memiliki nama lahir Soetardji, dan ayah bernama Mohamad Bachri, sedangkan ibunya bernama May Calzoum. Sejak memutuskan berkarier sebagai penyair, ia menggabungkan namanya, nama ayah serta ibunya, menjadi Sutardji Calzoum Bachri.

Ayahnya berasal dari Prembun, Kutoarjo, Jawa Tengah, yang telah merantau ke Riau sejak remaja. Kemudian menjabat sebagai Ajun Inspektur Polisi Kepolisian Negara di daerah Tanjung Pinang, Riau. Sementara ibunya asli dari Tambelan, Riau.

Tardji, nama panggilannya, merupakan anak kelima dari 11 bersaudara. Ia menikah dengan Mariam Linda tahun 1982, dan karuniai seorang putri bernama Mila Seraiwangi.

Baca Juga: Hasil Madrid vs Villarreal: Ini 5 Fakta Kekalahan Madrid dari Villarreal di Santiago Bernabeu Dini Hari Tadi 

Tardji mengenyam pendidikan di Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada masa tersebut, ia mulai serius menulis dan mengirimkan karya-karyanya ke surat kabar dan majalah di Bandung, diantaranya media Pikiran Rakyat. Karya puisinya banyak dimuat oleh majalah Horison, Budaya Jaya, Sinar Harapan, dan Berita Buana.

Tahun 1974, ia mengikuti Internasional Poetry Reading di Rotterdam. Oktober 1974 hingga April 1975 mengikuti Internasional Writing Program di Iowa City, USA. Setelah pulang dari Amerika Serikat, ia memutuskan untuk tinggal di Jakarta, kemudian menjadi salah seorang redaktur di Majalah Sastra Horison sejak 1996.

Ia juga banyak mengikuti acara pertemuan para penyair, baik tingkat nasional maupun di tingkat Internasional. Tardji yang juga dikenal dengan singkatan SCB (Sutardji Calzoum Bachri) mendapat banyak penghargaan dari tingkat nasional juga internasional.

Baca Juga: Pembentukan CDOB Katara Mencuat dalam Acara Buka Puasa Berjamaah Warga Tasikmalaya Utara

Kumpulan puisi O Amuk Kapak (1981) berisikan puisi-puisi yang menggegerkan dan tak pernah habis dalam polemik. Para kritikus menilai wajar jika karyanya menjadi perdebatan. Sebab ia telah meruntuhkan estetika puisi Indonesia yang mampan, yang dibuat oleh Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan WS Rendra.

Maman S Mahayana menulis dalam Kritik Sastra Indonesia, 24 Agustus 2021, pilihan SCB pada mantra bukan sekedar mengembalikan puisi modern pada kepurbaannya atau mengangkat kepurbaan mantra sebagai bagian dari puisi modern.

Melainkan juga adanya kesadaran bahwa mantra menyimpan energi besar yang secara potensial membukakan keran pembebasan pada konvensi perpuisian Indonesia sekaligus memberi peluang kebebasan kreativitas, bergerak lebih luwes, lebih leluasa, dan mendasar.

Baca Juga: Jadwal Imsakiyah dan Sholat Lima Waktu untuk Wilayah DKI Jakarta dan Sekitarnya, Tanggal 18 Ramadhan 1444 H

Maman juga menulis, tampaknya SCB telah ditakdirkan sebagai pembuka jalan pembebasan dan kebebasan, dan pendobrak untuk tidak jadi bayang-bayang, epigonis, pembebek, seperti dinyatakan dalam puisinya yang berjudul ‘Husspuss’: ‘aku bukan penyair sekedar/aku depan/depan yang memburu_

Dami N Toda dalam esai berjudul Peta Perpuisian Indonesia 1970an dalam Sketsa tahun 1977, menjelaskan bahwa dalam 30 tahun terakhir tak ada yang menentang wawasan estetika perpuisian Chairil Anwar.

Namun di tahun 1972, di Bandung, meledaklah bom yang dilemparkan Sutardji Calzoum Bachri berupa kredo puisinya. Pernyataan itu tentu tidak cepat dipahami orang, jika saja ia tidak memperlihatkannya dalam karya-karyanya.

Baca Juga: Berburu Takjil di 7 Tempat Wisata Kuliner Viral Pasar Lama Tangerang, Banyak yang Unik dan Enak

Pengantar penerbit dalam O Amuk Kapak, Horison, 2002, menulis sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri pernah menjadi perdebatan di meja redaksi Horison yakni antara Taufiq Ismail dan HB Jassin. Jassin menolak saja-sajak SCB untuk diterbitkan oleh Horison.

Sementara Taufiq Ismail berkeras untuk menerbitkan puisi-puisi tersebut. Akhirnya HB Jassin mengalah, dan sajak-sajak Sutardji muncul di majalah Horison. Sejarah pun tercipta. Polemik dimulai dengan kesulitan untuk diakhiri.

Kritikus Sastra Arif B Prasetyo, 2002, menulis bahwa kebesaran Sutardji Calzoum Bachri awet hingga Abad XXI. Peredaran buku O Amuk Kapak ke perpustakaan-perpustakaan sekolah dan pesantren menjadikan SCB sebagai salah satu bahan ajar dan bacaan wajib mengenai perkembangan puisi di Indoenesia.

Baca Juga: 4 Tempat Wisata Kuliner di Bandung yang Lagi Hits 2023 dan Cocok Buat Bukber, Ada Barbeque 1,2 Meter!

Bahkan ketika pandemi Covid 19 melanda Indonesia, puisi sulit karya Sutardji yang berjudul Kucing menjadi pilihan anak-anak milenial yang menghabiskan masa isolasi bersama hewan kucing peliharaan, meski memiliki makna yang berbeda.

Puisi tersebut banyak dikutip di laman media sosial, bahkan ada yang menjadikannya sablonan kaos oblong atau t-shirt.

Selain sebagai penulis, Tardji juga seorang pembaca puisi yang sanggup membut penonton terkesima. Di panggung-panggung dan acara sastra, ia membaca puisi dengan gaya dan adegan yang khas. Para penikmat penampilan Sutardji Calzoum Bachri dimasa lalu pasti akan teringat juga dengan botol-botol bir di sisi panggung.***

 

Editor: Arief Farihan Kamil

Tags

Terkini

Terpopuler