Sejarah Uang: Berawal dari Bulir Jelai di Sumeria Sampai Uang Digital yang Tak Berwujud

15 Maret 2023, 11:35 WIB
Uang adalah benda berharga yang tidak dapat dimakan langsung. /Antara/

KABAR PRIANGAN - Belakangan ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Republik Indonesia tengah menjadi sorotan publik, khususnya Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai akibat sejumlah kasus yang menimpa lembaga pimpinan Sri Mulyani tersebut.

Meskipun disebut Kemenkeu, tetapi lembaga ini bukanlah pencetak uang. Dilansir dari situs Bank Indonesia, www.bi.go.id pada 14 Maret 2023, Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) adalah satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berhak mencetak uang rupiah di Indonesia.

Kendati uang merupakan benda yang selalu berada di tengah dengan masyarakat, tetapi tidak semua mengetahui sejarah kemunculan uang di dunia. Dilansir dari buku Sapiens, Riwayat Singkat Umat Manusia karya Yuval Noah Harari, uang pertama kali ditemukan oleh bangsa Sumeria sekitar 3000 tahun Sebelum Masehi (SM).

Baca Juga: Daya Tarik Tempat Wisata di Solo dan Sekitarnya. Wahana Edukasi Hingga Rekreasi Lengkap Ada di Sana

Pada waktu itu uang lebih merupakan alat ukur yang berlaku umum untuk menakar nilai suatu barang. Bangsa Sumeria menggunakan bulir-bulir jelai (Hordeum Vulgare, sejenis padi-padian) dalam satuan yang disebut sila.

Yuval menerangkan, satu sila jelai kira-kira sama dengan satu liter jelai saat ini. Bangsa Sumeria memproduksi mangkuk khusus yang bisa diisi satu sila jelai secara presisi. Lebih lanjut, sejarahwan lulusan Oxford University ini mengungkap bahwa uang tidak selalu berupa koin atau lembaran kertas.

Ia menjelaskan, benda apa pun yang sepakati masyarakat memiliki fungsi-fungsi uang, seperti alat tukar, penyimpan harta, dan pengukur nilai, dapat disebut sebagai uang.

Baca Juga: Jadwal Acara Indosiar Rabu 15 Maret 2023: Saksikan Siaran Langsung BRI Liga 1 Persis Solo vs Arema FC

Dalam catatan Yuval, penguasa Sumeria menetapkan aturan gaji menggunakan sila jelai. Seorang buruh laki-laki memperoleh gaji sebesar enam puluh sila jelai sebulan. Sementara, buruh perempuan memperolah setengahnya, yakni tiga puluh sila. Seorang mandor memperoleh gaji berkisar antara 1.200 hingga 5.000 sila jelai dalam satu bulan.

Dalam penjelasannya, Yuval mengungkap dua alasan mengapa jelai menjadi uang di Sumeria. Pertama, secara intriksik jelai berharga karena dapat di makan. Jelai menjadi berharga karena merupakan makanan pokok Bangsa Sumeria pada masa itu.

Kedua, masyarakat telah sepakat menggunakannya sebagai uang. Menurut Yuval, bernilainya uang tergantung pada kesepakatan masyarakat. Oleh sebab itu, nilai uang moderen dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu, tergantung kesepakatan.

Baca Juga: Masjid Sudah Dirobohkan, Bantuan Tak Kunjung Datang, Warga Sukatinggal Taraju Tasikmalaya Kini Kebingungan

Uang dalam pengetian seperti masa sekarang, yakni benda berharga “yang tidak dapat dimakan langsung” namun “disepakati berharga”, baru tercipta pada sekitar pertengahan milenium ke-3 SM di Mesopotamia Kuno. Satuannya adalah syikal perak. Syikal perak bukanlah uang logam, melainkan perak seberat 8,33 gram.

Uang syikal perak pertama kali diketahui tercatat dalam Undang-Undang Hammurabi yang tercatat dalam batu prasasti bertarikh 1750 SM.

Salah satu poin dalam undang-undang itu menyebut bahwa jika seorang laki-laki dari kalangan atas membunuh seorang budak perempuan, maka ia harus membayar 20 syikal perak kepada pemilik budak. Artinya, ia harus membayar 166 gram emas.

Baca Juga: Peringatan Hari Ginjal Sedunia 2023, Kian Memperkuat Jalinan Silaturahmi Pelayan Kesehatan dan Pasien HD

Keterangan tentang mata uang kuno ini juga terdapat dalam Alkitab Perjanjian Lama, yakni pada Kitab Kejadian 37:28, “Ketika ada saudagar-saudagar Midian lewat, Yusuf diangkat ke atas dari dalam sumur itu, kemudian dijual kepada orang Ismael itu dengan harga 20 syikal perak. Lalu Yusuf dibawa ke Mesir.”

Dilansir dari situs Intuit Mint Life, pada sekitar tahun 1000 SM, Bangsa Tionghoa tercatat memproduksi uang koin berbahan logam, seperti perunggu dan tembaga.

Sementara itu, di belahan bumi Barat, pada tahun 640 SM uang logam pertama kali dicetak oleh Raja Alyattes dari Lidia, Anatolia Barat.

Setelah pengolahan logam semakin maju di berbagai belahan dunia, uang logam pun diproduksi di berbagai peradaban di dunia.

Baca Juga: Jalan-jalan Sore ke Jalan Baru Lintas Pantai Pangandaran, Ini Dia Jembatan Wiradinata Rangga Jipang yang Viral

Umumnya, salah satu muka uang logam merupakan cetakan wajah penguasa daerah tersebut.

Dilansir dari Britanica.com, uang kertas pertama kali ditemukan oleh Bangsa Tionghoa pada masa kepemimpinan Kaisar Zhenzong (997-1022 M). Kendati demikian, uang tersebut berfungsi seperti wesel bank di zaman moderen.

Pemegang uang kertas tersebut dapat mengambil uang koin sejumlah yang tertera di sana ke bank atau yang ditetapkan pemerintah atau langsung menggunakannya sebagai alat transaksi.

Sejak saat itu, uang mengalami berbagai perkembangan, khususnya dalam sistem nilainya. Pada tahun 1821, Kerajaan Inggris menetapkan emas sebagai acuan untuk menetukan nilai mata uangnya, yakni Poundsterling.

Baca Juga: Jenazah Pensiunan Polisi yang Ditemukan di Gorong-gorong Tasikmalaya Diotopsi, Ini Kata Tim Dokter Forensik

Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh negara lain seperti Jerman, Prancis, dan Amerika Serikat.

Sistem Kuangan Standar Emas hanya memboleh suatu negara mengedarkan uang senilai emas yang dimiliki negara tersebut.

Sitem ini kemudian berangsung-angsur ditinggalkan khususnya setelah dunia diguncang dua Perang Dunia dan sejumlah kekacauan lain. Puncaknya, pada tahun 1971 Sistem Keuangan Standar Emas ini resmi ditinggalkan.

Sebagai gantinya, negara-negara di dunia kini mengunakan sistem uang fiat, yakni uang kertas dan logam yang tidak memimiliki nilai intriksik. Artinya, uang logam 500 rupiah tidak berarti harga “benda” itu 500 rupiah.

Baca Juga: Gara-gara Terobsesi Jadi Tentara, Seorang Pria Ditangkap Usai Foto Prewedding

Nilai uang fiat sepenuhnya ditentukan dan dijamin oleh negara tanpa mengacu kepada objek atau komoditas lain seperti emas.

Kini, uang semakin tak berwujud, transaksi keuangan berlangsung bukan saja menukarkan berkeping-keping uang logam atau berlembar-lembar uang kertas dengan hal tertentu, melainkan hanya memindahkan data dari satu akun ke akun yang lain.***

Editor: Dede Nurhidayat

Tags

Terkini

Terpopuler