Perselingkuhan Amara dan Rababu Digelar dalam Pertunjukan Teater Dongkrak Tasikmalaya di ISBI Bandung

- 9 Maret 2023, 16:05 WIB
Suasana pertunjukan Amara Rababu oleh Teater Dongkrak Tasikmalaya di ISBI Bandung.
Suasana pertunjukan Amara Rababu oleh Teater Dongkrak Tasikmalaya di ISBI Bandung. /kabar-priangan.com/Dok.Teater Dongkrak/

KABAR PRIANGAN – Teater Dongkrak Tasikmalaya menggelar pertunjukan teater berjudul Sejarah Peteng Galunggung: Amara Rababu di Gedung Kesenian (GK) Dewi Asri, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, pada Rabu, 8 Maret 2023 mulai pukul 20.00 WIB.

Pertunjukan drama bahasa Sunda karya sastrawan asal Tasikmalaya, Nazarudin Azhar, tersebut sebelumnya telah dipentaskan di beberapa tempat. Amara Rababu yang disutradarai Tatang Pahat ini pertama kali dipentaskan di GK Kota Tasikmalaya pada Sabtu-Minggu 3-4 Desember 2022. Kegiatan tersebut merupakan rangkaian dari syukuran ulang tahun ke-32 kelompok teater tersebut.

Teater Dongkrak kemudian mementaskannya kembali di Padepokan Sobarnas Martawijaya, Garut, pada Sabtu, 7 Januari 2023 dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung, pada Sabtu, 11 Februari 2023. Rencananya, pertunjukan ini akan kembai digelar di Pusat Budaya Pagerageung pada Selasa, 21 Maret 2023.

Baca Juga: Banyak Makan Korban, Jalan Rusak di Garut akan Diperbaiki Pemprov Jabar

Terkait hal ini, Ketua Teater Dongkrak, Wit Jabo Widianto, mengungkapkan bahwa pentas keliling Amara Rababu ini merupakan salah satu program kelompok teater yang berdiri sejak tahun 1990 tersebut.

Tidak seperti pertunjukan sebelumnya, pada pertunjukan di GK Dewi Asri terdapat beberapa perbedaan yang merupakan penyesuaian karena bentuk panggung yang bebeda. Pada pertunjukan-pertunjukan sebelumya, panggung yang digunakan berbentuk prosenium (penonton di satu arah hadap).

Sementara, di GK Dewi Asri ISBI, panggung yang digunakan berbentuk arena (penonton di beberapa arah hadap). Hal ini direspon oleh Tatang Pahat selaku sutradara dengan mengubah beberapa bloking dan arah hadap pemain sehingga dapat diapresiasi dari berbagai arah.

Baca Juga: Heboh! Cuitan Kiky Saputri Soal “Stroke Telinga”. Apa Itu?

Hal baru lainnya adalah kehadiran jubleg dan bambu yang ditata vertikal di tengah-tengah panggung tepat di atas jubleg tersebut. Menurut Kiki Ihsan Pauji alias Kido yang berperan sebagai Amara, hal tersebut dimaksudkan sebagai lingga dan yoni yang biasa dijadikan simbol kesuburan atau laki-laki dan perempuan dalam khazanah kebudayaan di Nusantara.

Kiki menambahkan, hal tersebut memperkuat cerita yang mengisahkan tentang sejarah gelap (peteng) yang ada di Kabataraan Galunggung di era Kerajaan Galuh, yaitu perselingkuhan antara Amara dan kakak iparnya, Rababu, yang merupakan isteri dari Resiguru Sempakwaja, pemimpin Galunggung.

Dari hasil perselingkuhan tersebut, lahirlah seorang anak yang kemudian menjadi raja Galuh bernama Bratasena/Sena. Dilansir dari buku Sénapati Balangantrang, Intrik jeung Barébédan Pulitik di Galuh karya sejarahwan Sunda, Saléh Danasasmita, Bratasena memiliki anak bernama Sanjaya alias Rakeyan Jamri yang dalam catatan sejarah disebut sebagai penguasa tiga kerajaan pada waktu yang sama, yaitu Galuh, Sunda, dan Medang Mataram.

Baca Juga: Inilah 10 Link Twibbon Hari Musik Nasional, Memiliki Sejarah yang Patut Dikenang. Segera Gunakan Link di Sini

Dalam sesi diskusi setelah pertunjukan, Tatang Pahat menjelaskan bahwa naskah yang dimainkan Teater Dongkrak kali ini merupakan cerita yang cukup kontroversial. Namun, menurut alumni Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI, kini ISBI) Bandung itu, sepahit apa pun sejarah harus diketahui sebab merupakan sesuatu yang membentuk keadaan hari ini.

“Sapait-paitna sajarah, kita harus tahu karena anu ngabentuk kaayaan. Jiga kieu [ayeuna], teu leupas tina kasang tukang. Persoalan kontoversi mah, hal anu wajar, panginten. (Sepahit-pahitnya sejarah, kita harus tahu karena yang membentuk keadaan. Seperti ini [sekarang], tidak terlepas dari latar belakang. Persoalan kontroversi, itu hal yang wajar, mungkin),” ungkap Tatang dalam wawancara dengan kabar-priangan.com.

Lebih lanjut, dirinya mengatakan bahwa proses latihan untuk mempersipakan pertunjukan ini dilakukan selama 3 bulan. Selama itu, salah satu kendala yang ia hadapi adalah pengaturan waktu latihan yang harus disesuaikan dengan kesibukan masing-masing pemain yang terlibat. Tatang juga menyampaikan bahwa terjadi pasang-bongkar pemain selama proses berlangsung.

Baca Juga: Tempat Wisata Ini Bak Surga Tersembunyi, Nikmati Ngarai Indah hingga Ranu Kumbolonya Tasikmalaya

Sementara, Jabo yang berperan sebagai Sempakwaja mengatakan, dirinya melakukan serangkaian tahap untuk memerankan tokoh Sempakwaja. Seniman yang pernah pendapat penghargaan Sutradara Pinunjul pada Festival Drama Basa Sunda XIII tahun 2014 ini menerangkan, setelah menghapal naskah, ia mendalami kata demi kata dan mengeksplorasi gaya pengucapannya agar sesuai dengan emosi yang terdapat dalam tokoh tersebut.

“Saatos apal naskah, teras diteuleuman kata per kata, kalimat per kalimatna [teras] diréka-réka kumaha pipanteseunana ngucapkeun éta dialog sapados nyurup kana maksud émosi anu aya dina diri éta tokoh. (Setelah hapal naskah, kemudian didalami kata per kata, kalimat per kalimanya [kemudian] dieksplor bagaimana pantasnya mengucapkan dialog tersebut agar sesuai dengan emosi yang ada di dalam diri tokoh itu),” terang Jabo.

Lebih lanjut, ia berharap penonton dapat mengambil hikmah dari pertunjukan ini bahwa apa yang telah terjadi pada leluhur di masa lalu bisa dijadikan cermin dan pelajaran di zaman sekarang. Jabo mengatakan, salah satu hikmah dari drama Amara Rababu adalah bahwa hal buruk yang terjadi di masa lalu tidak selalu menjadi keburukan di masa kini, begitu pun sebaliknya.

Baca Juga: Hasil Survei Cawalkot Kota Banjar Mengundang Polemik. Ini Kata Mantan Wakil Wali Kota

Semua itu, Jabo menerangkan, tergantung sikap seseorang di masa kini dalam mengolah, memilah, dan memilih hal-hal yang diwariskan oleh orang-orang terhadulu tersebut agar tidak menjadi keburukan bagi diri sendiri.

“Cai anu ti luhurna kiruh can tangtu kiruh ka handapna. Cai anu ti luhurna hérang teu ngajamin bakal hérang ka handapna. Tinggal urangna anu kedah bisa ngolah, milah, sareng milihna mana anu kiruh, mana anu hérang, supados teu janten panyakit kana diri urang. (Air yang dari atasnya keruh, belum tentu keruh ke bawahnya. Air yang dari atasnya bening, tidak menjamin akan bening ke bawahnya. Tinggal kita yang harus mengolah, memilah, dan memilih mana yang keruh, mana yang bening, agar tidak menjadi penyakit pada diri kita),” ungkap Jabo.***

Editor: Dede Nurhidayat


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x