Mengenal Tradisi Nyepuh di Desa Ciomas Panjalu Ciamis yang Digelar Menjelang Ramadhan

- 10 Maret 2023, 15:33 WIB
Suasana berdoa di makam Panghulu Gusti, salah satu rangkaian Nyepuh di desa Ciomas jelang Ramadhan.
Suasana berdoa di makam Panghulu Gusti, salah satu rangkaian Nyepuh di desa Ciomas jelang Ramadhan. /kabar-priangan.com/Dok.pribadi Ridwan Hasyimi/

KABAR PRIANGAN – Bulan Suci Ramadhan sebentar lagi akan tiba, organisasi masyarakat (Ormas) Islam Muhammadiyah melalui metode hisab menetapkan 1 Ramadhan 1444 H/2023 M jatuh pada 23 Maret 2023.

Sementara, Nahdlatul Ulama (NU) dan pemerintah melalui Kementerian Agama biasanya akan melakukan dulu Sidang Isbat di penghujung bulan Sya’ban dalam kalender Hijriah untuk menetapkan tanggal 1 Ramadhan.

Menjelang Ramadhan, di berbagai tempat banyak dilakukan kegiatan dalam rangka meyambut datangnya bulan suci umat Islam tersebut. Salah satunya yang dilakukan masyarakat di Desa Ciomas, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis.

Masyarakat di desa yang terletak di kaki Gunung Sawal itu melakukan tradisi Nyepuh untuk menyambut bulan Ramadhan.

Baca Juga: Nenek Ratimah Warga Pangandaran Hanya Bisa Meratapi Rumahnya yang Ludes Terbakar, Dibakar Cucunya Sendiri

Dilansir oleh kabar-priangan.com dari akun Instagram resmi Dinas Kebudaayaan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Ciamis @disbudpora.ciamis pada 10 Maret 2023, Nyepuh di Desa Ciomas Kecamatan Panjalu tahun ini dilaksanakan pada Sabtu, 11 Maret 2023.

Menurut salah seorang warga Desa Ciomas, Ridwan Hasyimi, tradisi ini biasa dilaksanakan pada bulan Sya’ban (Rewah) dengan tujuan menyucikan diri sebelum memasuki bulan suci Ramadhan.

Masyarakat bergotong royong membersikan lingkungan dan kawasan makam keramat Eyang Panghulu Gusti di Hutan Geger Omas serta menziarahinya.

Setelah selesai ziarah, masyarakat biasanya makan bersama di sekitar situs tersebut. Dilansir dari jurnal berjudul “Tradisi Nyepuh di Desa Ciomas Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis” karya Yeni Wijayanti dan Ai Wulan yang terbit di Jurnal Artefak Vol. 2 No. 1—Maret 2014.

Baca Juga: 5 Tempat Wisata Kuliner di Ciamis Terbaru yang Lagi Hits dan Wajib Dikunjungi saat Bukber Ramadhan!

Dahulu, bahan makanan yang hendak disantap tersebut dibawa ke area makam sehari sebelumnya untuk didoakan.

Kayu bakar untuk memasak pun diambil dari area tersebut dengan ketentuan khusus, yakni hanya kayu yang telah jatuh dari pohon yang boleh diambil (kayu lempung).

Dalam bahasa Sunda, kayu semacam ini disebut pangpung sehingga kegiatannya disebut mulung pangpung yang bermakna memungut kayu lempung. Selain itu, air yang digunakan untuk memasak juga harus berasal dari mata air keramat yang ada di hutan tersebut.

Kayu bakar yang telah terkumpul kemudian diperiksa oleh sesepuh untuk memastikan semuanya sesuai dengan ketentuan.

Baca Juga: Resep Simple Puding Lembut Cuma 3 Bahan, Cocok untuk Menu Buka Puasa

Bahan makanan yang akan dimasak juga “diverifikasi” dulu kehalalannya dan dipastikan warga yang memberikan ikhlas lahir-batin. Kegiatan ini biasa disebut nalékan, bermakna menanyakan.

Para juru masak juga harus sesuai ketentuan, yakni perempuan yang sudah menopause berjumlah 17 orang. Angka ini merupakan simbol dari jumlah rakaat sholat dalam sehari semalam.

Saat memasak, para juru masak dilarang bicara dan melakukan aktivitas yang tidak ada hubungannya dengan memasak.

Untuk memeriahkan acara, warga laki-laki akan menghias desa dengan dengan umbul-umbul dan obor.

Baca Juga: Disdik Jabar Tanggapi Cuit Komika Soleh Solihun Soal Dugaan Pungutan di Sekolah Negeri Bandung

Biasanya, malam menjelang Nyepuh dimeriahkan oleh berbagai pertunjukan seni tradisi, seperti gembyung, pertunjukan karinding, dan sebagainya.

Keesokan harinya, warga berkumpul di sekitar rumah juru kunci untuk memulai perjalanan menuju makam Eyang Panghulu Gusti. Dalam perjalanan, rombongan akan berhenti di mata air keramat dan mengambil wudhu di sana.

Air itu juga akan di bawa menuju makam unuk disiramkan ke atas makan dan benih tanaman yang sengaja ditanam di sekitar sana. Setelah berdoa di makam, warga akan makan bersama di sekitar pemakaman umum yang terletak tidak jauh dari sana.

Menurut Ridwan Hasyimi, yang juga aktivis pemerhati budaya sunda, pada mulanya tradisi Nyepuh dilaksanakan bukan sebagai kegiatan wisata-religi seperti hari ini.

Baca Juga: Technolife Siapkan Kafe Kopi dengan Suasana Berkelas Mewah di Jatinangor Sumedang

Pada tahun 2005, atas saran seorang pegawai Kementerian Pariwisata RI yang sempat berziarah ke Ciomas, kegiatan ini mulai ditata sebagai kegiatan wisata dan dipromosikan pada masyarakat luas seperti sekarang.

Kini tradisi Nyepuh telah tercatat oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Ciamis sebagai salah satu agenda wisata-religi menjelang Ramadhan di Ciamis.

Sejak tahun itu pula, nama kegiatan ini berubah menjadi Nyepuh yang bermakna merawat peninggalan para sepuh (orang tua). Dulunya, kegiatan ini disebut Ngikis seperti umumnya kegiatan serupa di daerah lain.

“Masyarakat di sini adaptif. Yang dipegang itu esensinya, bukan bentuknya. Nama berubah ngga apa-apa, yang penting intinya terjaga. Begitu juga rangkaian acaranya. Dulu lebih kompleks, sementara sekarang cenderung lebih simpel. Ya, ngga apa-apa. Tradisi kan milik masyarakat yang hidup. Yang hidup kan pasti berubah," ujarnya.

Baca Juga: Jelang Ramadhan, Warga Mulai Berburu Beras Murah untuk Stok, Operasi Pasar di Tasikmalaya Dicari-cari

“Nilainya tetap sama meningkatkan taqwa, menghormati leluhur, silaturahmi dengan sesama, dan menjaga alam. Tuhan, manusia, dan alam, gitu pola budaya leluhur kita. Selalu komprehensif,” ungkap Ridwan.

Menurutnya, dulu masyarakat juga memiliki kebiasaan mandi di mata air keramat sebelum puasa sebagai simbol menyucikan diri.

Namun, hari ini tidak banyak yang melakukannya. Mata air yang dikeramatkan tersebut berada di dalam hutan yang pada tahun 2016 ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Ekosistem Esensial oleh pemerintah.

Menurut legenda setempat, mata air itu merupakan tempat Eyang Panghulu Gusti menuangkan air zam-zam yang ia bawa dari Tanah Suci Mekkah.

Baca Juga: Nikmati Tempat Wisata di Kawasan Gunung Galunggung Tasikmalaya, Air Terjun Eksotis hingga Kawah Instagramable

Seraya menuang air tersebut ia berdoa agar mata air tersebut menjadi berkah bagi seluruh warga desa.

Eyang Panghulu Gusti sendiri merupakan tokoh yang diyakini sebagai leluhur yang membuka desa Ciomas dan penyebar agama Islam di sana.

Dikutip dari buku Boekoe Sedjarah Galoeh karangan R.H. Gun Gun Gurnadi yang memuat silsilah raja-raja Galuh dan Sunda, Eyang Pangulu Gusti tercatat menikah dengan Nyi Mas Siti Fatimah.

Merupakan keturunan ke-9 dari Sri Baduga Maharaja atau yang lebih sering diidentikan sebagai Prabu Siliwangi, Nyi Mas Siti Fatimah sendiri diperkirakan hidup pada abad ke-17.***

Editor: Dede Nurhidayat


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x