KABAR PRIANGAN – Sebelum menjadi Ciamis, nama Galuh telah lebih dulu melekat pada salah satu wilayah di Priangan Timur tersebut. Dimulai dari sebuah kerajaan kemudian menjadi wilayah administratif yang dikuasi oleh Mataram, hingga menjadi kabupaten seperti saat ini.
Dilansir kabar-priangan.com dari artikel berjudul “Sejarah Galuh, Abad ke-8 s.d. Pertengahan Abad ke-20 (1942)” karangan sejarahwan Universitas Padjadjaran, A. Sobana Hardjasaputra yang diunggah di blog warisanbudaya.blogspot.com pada 13 Maret 2023, tahun 1595 Kerajaan Galuh jatuh ke tangan Kesultanan Mataram Islam yang saat itu dipimpin oleh Sutawijaya alias Panembahan Senopati.
Pada saat itu Galuh dimasukan ke dalam wilayah administratif Kesultanan Cirebon yang merupakan vassal atau negara protektorat dari Mataram.
Baca Juga: Rektor Unigal Ciamis Dadi Dikukuhkan Jadi Guru Besar, Kini FKIP Unigal Punya Dua Profesor
Pada masa awal penaklukan, Galuh dipimpin oleh Prabu Cipta Sangyang. Setelah meninggal, ia digantikan oleh anaknya bernama Ujang Ngekel yang lebih dikenal dengan nama Prabu Galuh Cipta Permana (1610-1618). Di masa Prabu Cipta Permana yang tercatat sebagai seorang mualaf ini, pusat pemerintahan Kerajaan Galuh berada di Garatengah (kini termasuk wilayah Cineam, Tasikmalaya).
Galuh di Bawah Mataram
Galuh memasuki babak baru ketika Sultan Agung naik tahta sebagai Sultan Mataram pada tahun 1613. Pada masa itu, Galuh turun status menjadi setingkat kabupaten di bawah kekuasaan Mataram dan dipimpin oleh seorang Bupati Wedana bernama Adipati Panaekan (1618-1625), putra Prabu Galuh Cipta Permana.
Setelah menguasai Sumedang pada tahun 1620, kekuasaan Mataram semakin mantap di kawasan Priangan. Tahun 1628, kesultanan Islam tersebut berencana menyerang VOC di Batavia. Sultan Agung berencana mengerahkan pasukan dari wilayah Priangan untuk kepentingan tersebut.
Namun, para penguasa Priangan, termasuk Galuh, berselisih paham terkait rencana penyerangan itu. Adipati Panaekan berselisih dengan Dipati Kertabumi yang merupakan adik iparnya sendiri dan Bupati Bojong, putra Prabu Dimuntur.
Baca Juga: Setelah 40 Tahun Menunggu, Warga Karangpawitan Kawali Ciamis Kini Punya Lapangan Sepak Bola
Bupati Wedana pertama Galuh itu terbunuh dalam perselisihan tersebut. Ia kemudian digantikan oleh anaknya bernama Mas Dipati Imbanagara yang dikenal karena memindahkan pusat pemerintahan dari Garatengah ke Calingcing kemudian ke Bendanegara, di daerah Panyingkiran kini.
Kendati demikian, Galuh tetap mengirimkan pasukan ke Batavia di bawah pimpinan Bagus Sutapura. Sementara, pasukan Priangan dipimpin Bupati Wedana Priangan, Dipati Ukur, yang kalah dalam pertempuran tersebut. Sobana menulis, akibat kekalahan tersebut, Dipati Ukur yang namanya diabadikan sebagai nama jalan di Kota Bandung, memberontak kepada Mataram.
Pemberontakan itu berdampak pada seluruh Priangan (kecuali Sumedang), termasuk Galuh. Pascapemberontakan tersebut, tepatnya pada tahun 1630-an, Sultan Agung memecah wilayah Priangan dan Galuh ke dalam beberapa wilayah kecil.
Galuh sendiri dipecah menjadi beberapa pusat wilayah kecil yaitu Bojong Lopang yang dipimpin Dipati Kertabumi, Utama yang dipimpin oleh Sutamanggala, Imbanagara yang dipimpin oleh Adipati Jayanagara, dan Kawasen yang dipimpin oleh Bagus Sutapura.
Karena dinilai membantu menumpas pemberontakan Dipati Ukur, Bagus Sutapura diberi hadiah oleh Sultan Agung yakni diangkat sebagai Bupati di Kawasen. Tokoh lain yang mendapat hadiah serupa diantaranya Umbul Cihaurbeuti (Ki Astamanggala) yang diangkat menjadi Bupati Bandung bergelar Tumenggung Wiraangun-angun dan Umbul Sindangkasih (Ki Somahita) diangkat menjadi Bupati Parakan Mungcang (daerah antara Banjarsari-Padaherang) bergelar Tumenggung Tanubaya.
Sementara, pihak Mataram mencurigai Dipati Imbanagara berpihak pada Dipati Ukur. Karena tuduhan tersebut, ia dieksekusi mati pada tahun 1636. Kendati demikian, anaknya yang bernama Mas Bongsar diangkat menjadi bupati dengan gelar Adipati Jayanagara (1636-1678). Masyarakat mengenalnya pula dengan nama Raden Adipati Aria Panji Jayanagara.
Di masa kepimpinannya, Mataram memasukan Kawasen menjadi wilayah Garatengah dan sejak saat itu nama wilayahnya diganti menjadi Imbanagara. Oleh karenanya, Mas Bongsar/Adipati Jayanagara adalah bupati pertama Imbanagara.
Pada tanggal 14 Mulud 1052 Hijriah (biasa disebut tahun He) atau bertepat 12 Juni 1642, Adipati Jayanagara memindahkan pusat pemerintahan dari Garatengah ke daerah yang kini termasuk kawasan Kecamatan Imbanagara. Sejak tahun 1970, Pemerintah Daerah Ciamis menggunakan tanggal ini sebagai Hari Jadi Kabupaten Ciamis.
Selama masa kepemimpinan Adipati Jayanagara, sejumlah wilayah yang sebelumnya berada di luar kekuasaan Galuh dan memiliki penguasa sendiri, seperti Kertabumi, Utama, Kawali, dan Panjalu, dimasukkan ke dalam wilayah Galuh.
Kawasan Galuh terus mengalami reorganisasi. Saat Galuh dipimpin Angganaya, putra Adipati Jayanagara, Bojong Lopang “di-merger” dengan Kertabumi. Bupati Kertabumi kemudian dipindahkantugaskan ke Karawang dan menjadi cikal bakal Bupati Karawang keturunan Galuh.
Setelah kematian Sultan Agung pada tahun 1645, penerusnya, Susuhunan Amangkurat I, kembali merombak wilayah administratif di Priangan. Ia mengubah daerah-daerah di Priangan menjadi daerah setingkat kabupaten bernama ajeg. Beberapa ajeng yang ada di wilayah Priangan jajahan Mataram, di antaranya Bandung, Sumedang, Sukapura, Parakan Muncang, Imbanagara, Galuh, Kawasen, dan Banjar.
Galuh di bawah VOC
Lain dengan ayahnya yang dikenal anti penjajah asing, Amangkurat I justru bersekutu dengan VOC. Pada tanggal 5 Oktober 1705, Mataram dan VOC menandatangani sebuah perjanjian yang salah satu isinya menyerahkan wilayah Priangan Timur kepada VOC.
Sejak saat itu, Galuh berpindah tuan kepada perusahaan dagang Hindia Belanda tersebut. Kendati demikian, secara administratif Galuh masih termasuk wilayah Cirebon dibawah pengawasan langsung Pangeran Aria sebagai perwakilan VOC.
Sebelum perjanjian itu ditandatangani, perusahaan yang sempat merapkan tanam paksa tersebut mengangkat Sutadinata sebagai Bupati Galuh (1693-1706) untuk mengganti ayahnya yang meninggal, Angganaya.
Sepeninggalan Sutadinata, Galuh dipimpin oleh Kusumadinata I (1706-1727), Kusumadinata II (1727-1732), dan Kusumadinata III (1751-1801). Secara de jure, Kusumahdinata III alias Mas Garuda menjadi Bupati Galuh sejak kematian pamannya, Kusumadinata II pada tahun 1732. Namun, karena dianggap belum dewasa, kepemimpinan Galuh dijalankan oleh tiga orang wali, termasuk di antaranya Raden Jayabaya yang merupakan Patih Imbanagara, ayah dari Mas Garuda sendiri.
Kusumadinata III kemudian digantikan oleh Raden Adipati Natadikusumah (1801-1806). Pada masa kepemimpinannya, wilayah jajahan VOC kembali dirombak karena terjadi peralihan kekuasaan kepada Kerajaan Belanda karena perusahaan tersebut bangkrut.
Galuh di bawah Pemerintahan Hindia Belanda
Kerajaan Belanda kemudian membentuk pemerintahan Hindia Belanda sebegai pemerintah kolonial yang menguasai wilayah bekas jajahan VOC. Di masa itu, Kabupaten Imbanagara dan Kabupaten Utama dihapus dan dilebur menjadi Kabupaten Galuh. Pada tahun 1815, Bupati Galuh Wiradikusumah, memindahkan ibu kota dari Imbanagara ke (pusat kota) Ciamis hari ini.
Pada masa pemerintahan Adipati Adikusumah (1819-1839) yang merupakan anak Wiradikusumah, wilayah Galuh semakin luas dengan dimasukkan Kawali dan Panjalu ke dalam wilayah Galuh. Adikusumah memiliki anak bernama Kusumadinata. Anak laki-lakinya ini kemudian menggantikan ayahnya sebagai Bupati Galuh yang sangat masyhur dengan nama Raden Adipati Arya Kusumadiningrat alias Kanjeng Prebu (1839-1886).
Kanjeng Prebu banyak melakukan pembangunan yang jejaknya masih dapat dilihat hingga kini, di antaranya Gedung Kabupaten (kini menjadi Gedung DPRD Ciamis), Masjid Agung, Kantor Asisten Residen (Kantor Bupati sekarang), penjara, kantor telepon, dan lain-lain.
Bupati selanjutnya adalah Raden Adipati Arya Kusumabrata (1839-1914) yang merupakan putra Kanjeng Prebu. Pada masa kepimpinannya, Ciamis mulai dilalui kereta api jalur Bandung-Cilacap. Sepeninggalannya, Kabupaten Galuh memasuki babak baru.
Baca Juga: BSI Salurkan KUR 2023. Simak Keunggulan, Jenis, Syarat, dan Cara Pengajuannya di Sini!
Galuh Menjadi Ciamis
Pada Tahun 1914, Pemerintah Hindia Belanda menugaskan Raden Adipati Arya Sastrawinata sebagai Bupati Galuh. Setahun kemudian, Pemerintah memindahkan Galuh yang tadinya bagian dari Cirebon menjadi bagian dari Keresidenan Priangan.
Dikutip dari jurnal “Galuh dan Ciamis: Sebuah Tinjauan Historis dan Filosofis Dalam Urgensi Perubahan Nama Kabupaten” karya Yadi Kusmayadi yang terbit di Jurnal Artefak Vol. 9 No. 1 April 2021, atas persetujuan Pemerintah Hindia Belanda, Bupati Galuh saat itu, Sastrawinata, mengganti nama Kabupaten Galuh menjadi Kabupaten Ciamis.
Yadi dalam jurnalnya menyebut, Sastrawinata adalah keturunan Singaperbangsa I, Bupati Karawang yang masih keturunan Galuh. Kendati sejumlah sejarahwan menyatakan bahwa perubahan nama ini dilatari alasan politis dan bertujuan memutus kebanggaan masyarakat terhadap Galuh, tetapi sampai saat ini sejumlah catatan sejarah belum mampu menguak alasan pasti di balik perubahan nama tersebut. Sejak saat itu Ciamis digunakan sebagai nama resmi kabupaten sampai saat ini.***