Marak Kekerasan pada Perempuan, Sebagian Besar oleh Eks Pacar. Berikut Faktor Penyebab yang Perlu Diketahui

- 22 Mei 2023, 16:10 WIB
Maraknya kekerasan pada perempuan di Indonesia masih menjadi persoalan yang cukup serius.
Maraknya kekerasan pada perempuan di Indonesia masih menjadi persoalan yang cukup serius. /Antara/

KABAR PRIANGAN - Maraknya kekerasan pada perempuan di Indonesia masih menjadi persoalan yang cukup serius, lebih dari 3.000 kasus tindak kekerasan dialami kaum hawa setiap tahunnya.

Hal ini menjadi tanda tanya besar, kenapa kekerasan terhadap perempuan tidak bisa berhenti dan terus melaten hingga saat ini.

Dilansir dari kemenpppa.go.id, sekitar 79,9% korban kekerasan dirasakan oleh pihak perempuan, sisanya 20,1% menimpa laki-laki.

Sumber data yang sama menyebutkan bahwa pelaku kekerasan didasarkan oleh jenis kelamin laki-laki, yaitu 89,7% sedangkan pelaku perempuan sebesar 10,3%.

Baca Juga: Result & Reunion Malam Ini! Berikut Bocoran Bintang Tamu, Jadwal Tayang, Link Streaming Indonesian Idol XII

Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan (CATAHU) 2023, kasus kekerasan di ranah personal, yaitu Kekerasan Mantan Pacar (KMP) menempati posisi tertinggi yakni 713.

Setelah itu Kekerasan Terhadap Istri (KTI) sebanyak 622 kasus, dan 422 Kekerasan Dalam Pacaran (KDP).

Berikut adalah dua faktor penyebab kekerasan terhadap perempuan adalah sebagai berikut:

1. Budaya Patriaki

Budaya Patriarki merupakan budaya yang menempatkan pihak laki-laki sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam sebuah relasi. Budaya ini terbentuk akibat proses sosial yang terus menerus sehingga menghasilkan ketimpangan bagi keduanya.

Baca Juga: Hadapi Persaingan Usaha, Kini di Kakapean Ciamis Ada Cireng hingga Cipuk Selain Ramyeon, Kimchi dan Tteokbokki

Laki-laki mendapatkan peran-peran signifikan dan strategis yang memiliki kekuasaan penuh pada pengambilan keputusan maupun dalam aktivitas lainnya.

Adapun kaum hawa mempunyai stigma kedua di masyarakat dan keluarga, yaitu menempatkan perempuan sebagai pihak inferior yang tidak mempunyai kuasa utuh dan penuh terhadap dirinya maupun lingkungannya.

Budaya patriarki inilah yang kerap kali digunakan oleh pihak laki-laki dalam konteks kekerasan pada perempuan, untuk melakukan intimidasi baik secara fisik maupun psikis.

Budaya tersebut dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk melegalkan dan melanggengkan perbuatannya sehingga kekerasan pada perempuan terus terjadi.

Baca Juga: Tips Diet Ala Karina Aespa: Makan Banyak tapi Badan Tetap Ideal, Ini Rahasianya

2. Faktor Ekonomi

Budaya patriarki tidak lepas dengan masalah ekonomi. Perempuan ditempatkan pada ranah domestik dan bertanggungjawab pada keberlangsuangan stabilitas dalam rumah tangga.

Perempuan dalam banyak kasus tidak mempunyai kemerdekaan pendapatan, independent financial yang berakibat pada keterganggung pada pihak laki-laki.

Di lain sisi, kasus di lapangan yakni perempuan banyak mengalami diskriminasi baik dalam bentuk upah maupun penghargaan secara individu.

Menurut Koordinator Divisi Pemantauan Komnas Perempuan, Indah Sulastry, SH dalam wawancara singkat pada Senin, 22 Mei 2023 menjelaskan bahwa budaya partiarki menempatkan perempuan hanya di ranah domestik.

Baca Juga: Kisah Sukses Kikit Rintis Usaha Mainan Kayu Modal Rp1 Juta, Kini Omzetnya Mencapai Puluhan Juta Rupiah

Kebijakan yang tidak responsif gender dapat dilihat pada UU perkawinan, yaitu laki-laki masih dianggap pencari nafkah tunggal.

Sedangkan, pendidikan dan keterampilan perempuan seringkali dihargai murah terlebih di sektor jasa dan rumah tangga.

Fenomena ketidakstabilan ekonomi atau permasalahan ekonomi memicu gejolak emosi yang berakhir pada pertengkaran dan memungkinkan terjadi kekerasan pada pihak perempuan.***

Editor: Dede Nurhidayat


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah