Mengenal Lebih Dekat Oto Iskandar di Nata ‘Otista', Pahlawan Nasional yang Jasadnya Belum Ditemukan

4 Maret 2023, 21:55 WIB
Wajah Pahlawan Nasional Oto Iskandar di Nata diabadikan dalam mata uang Rupiah pecahan Rp 20ribu.*/kabar-priangan.com/Bank Indonesia /

KABAR PRIANGAN – Jalan Otista boleh jadi sudah sangat dikenal oleh masyarakat, khususnya di Jawa Barat. Pasalnya, nama jalan ini ada di hampir seluruh kota dan kabupaten di Tatar Sunda. Di Kota Tasikmalaya, Jalan Otista terletak di pusat kota dan merupakan salah satu akses menuju Taman Kota, Masjid Agung, dan kawasan pusat perbelanjaan di Pedestrian Cihideung dan Jalan K.H.Z. Mustofa.

Otista merupakan akronim atau kependekan dari Oto Iskandar di Nata. Oto seorang Pahlawan Nasional asal Jawa Barat. Dilansir dari buku "Nu Maranggung Dina Sajarah Sunda" karya Prof. Dr. Edi S. Ekadjati, Oto Iskandar di Nata lahir di Dayeuhkolot, Bandung, pada tanggal 31 Maret 1897.

Oto Iskandar di Nata lahir dari keluarga menak (bangsawan). Salah seorang saudaranya, R. Ating Atma Dinata merupakan Wali Kota Bandung yang menjabat di awal masa kemerdekaan Indonesia. Di lingkungan keluarga, Oto kecil dididik dan hidup dengan nilai-nilai budaya Sunda dan Islam yang cukup kental. Ayahnya, R. Nataatmaja, mengubah namanya menjadi R.H. Adam Rakhmat sepulang dari tanah suci Mekkah.

Baca Juga: Pengalaman Guru Sepuh di Ciamis, H. Otong Soekarso (Bagian 2): Liburan Anak SGB Tahun 1950-an

Tokoh yang turut serta mempersiapkan kemerdekaan Indonesia ini mendapat pendidikan formal pertamanya di Holland Inlandsche School (HIS) Karang Pamulang, Bandung. Ia kemudian melanjutkan pendidikan ke sekolah guru bantu yang didirikan pemerintah Hindia Belanda, Holland Inlandsche Kweekschool (HIK) di Bandung yang waktu itu sering disebut Sakola Raja.

Dirinya kemudian melanjutkan pendidikannya ke sekolah guru atas, yaitu Hoogore Kweek School (HKS) di Purworejo yang kini termasuk kawasan Jawa Tengah. Setelah tamat sekolah pada tahun 1920, ia ditugaskan mengajar di HIS Banjarnegara. Di sini ia bertemu dengan Raden Ajeng Sukriah, seorang bangsawan yang dinikahinya tiga tahun kemudian.

Karirnya sebagai guru membuatnya kerap kali berpindah-pindah. Pada tahun 1921, Oto dipindahtugaskan ke Bandung dan mengajar di HIS Volksonderwijs (Perguruan Rakyat). Pada tahun 1923 ia menikah dan kelak dikaruniai 12 orang anak. Setahun setelah menikah, yaitu tahun 1924, ia dipindahkan kembali ke Jawa Tengah, tepatnya ke HIS Pekalongan.

Baca Juga: Hasil Akhir Timnas Indonesia U 20 Vs Suriah, Gol Hokky Caraka Hidupkan Peluang Garuda Nusantara ke 8 Besar

Pada bulan Agustus 1928 dirinya dipindahkan ke HIS Muhammadiyah di Batavia (Jakarta). Oto memilih berhenti menjadi guru pada tahun 1932 dan lebih fokus di kegiatan sosial-politik. Perhatiannya pada dunia pergerakan bermula sejak dirinya masih menjadi siswa HKS Purworejo bertepatan dengan dirikannya Volksraad (Dewan Wakil Rakyat) Hindia Belanda oleh pemerintah kolonial.

Kecintaannya pada dunia pergerakan makin mantap ketika mengenal organisasi Boedi Oetomoe (Budi Utomo/BU) saat dirinya bertugas di Banjarnegara. Saat dipindahkan ke Bandung, ia menjadi Wakil Ketua BU Cabang Bandung. Pada September 1921, dalam sebuah rapat BU, Oto berpidato dan melancarkan kritik pada Pagoeyoeban Pasoendan (PP), sebuah organisasi yang didirikan urang Sunda di Batavia.

Kritik tersebut memantik polemik antara dirinya dengan PP. Edi S. Ekadjati dalam buku tersebut menjelaskan, ada seorang sesepuh yang menasehati agar Oto jangan dilawan dengan keras, melainkan didekati dengan cara yang lembut. Saran tersebut dilakukan oleh PP dan Oto malah berbalik menjadi simpati.

Saat tinggal di Batavia, dirinya bergabung dengan organisasi tersebut dan menjadi Ketua Pengurus Pusat PP pada Desember 1929. Di bawah kepemimpinannya, PP tumbuh menjadi organisasi besar dan mencapai masa kejayaannya. Organisasi tersebut tidak hanya dikenal di Preanger (Priangan), melainkan di tingkat nasional. Dari sini pula Oto mulai mantap sebagai politisi dan memilih berhenti menjadi guru pada tahun 1932.

Baca Juga: Munggahan, Yuk! Di Tempat Wisata Kuliner Paniisan Cijati Banjar yang Bikin ‘Tiis Cepil Herang Panon’

Oto dikenal tegas, berani, dan kritis sehingga mendapat julukan Si Jalak Harupat. Sejarah mencatat pidatonya yang berani dalam sidang Dewan Wakil Rakyat. Oto Iskandar di Nata terang-terangan menuntut kemerdekaan Indonesia kepada pemerintah Hindia Belanda.

Menjelang kemerdekaan tahun 1945, Oto tergabung ke dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dirinya tercatat sebagai tokoh yang secara terbuka mengusulkan Sukarno dan Hatta menjadi presiden dan wakil presiden pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada masa-masa awal pemerintahan Bung Karno, Oto ditugaskan menjadi Menteri Negara Bidang Keamanan. Namun, dirinya tidak pernah lama mengecap kemerdekaan. Pada 10 Desember 1945, ia diculik oleh Laskar Hitam dan dieksekusi di Pantai Mauk, Tangerang, pada 20 Desember 1945.

Dilansir dari artikel “Kisah Pembunuh Si Jalak Harupat” di portal sejarah Historia, Oto dieksekusi dengan cara ditusuk belati di bagian leher. Sejarahwan Iip D. Yahya menyatakan bahwa kelompok Laskah Hitam merupakan pelaku lapangan. Mereka menerima perintah dari pihak yang hingga kini belum diketahui dengan pasti.

Baca Juga: Libur Akhir Pekan di Pangandaran, Tempat Wisata Citumang yang Asri dan Menyejukkan, Seru Bisa Body Rafting!

Priyatna Abdurrasyid, jaksa yang memeriksa Mujitaba, salah seorang eksekutor Oto, mengungkap bahwa Laskas Hitam menerima perintah dari “orang berkuasa” untuk membunuh Oto yang disebutnya sebagai “penjual Bandung kepada Belanda”.

Jasad Oto Iskandar di Nata belum ditemukan sampai saat ini. “Makam” atas nama dirinya di Taman Makam Pahlawan Oto Iskandar di Nata di Lembang, Bandung Barat, adalah sebuah monumen untuk mengenang jasa-jasanya. Oto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Wajahnya pun terdokumentasikan pada uang lembar pecahan Rp20 ribu.***

 

Editor: Arief Farihan Kamil

Tags

Terkini

Terpopuler