KABAR PRIANGAN – Perjanjian antara pihak Sanjaya dan Manarah merupakan salah satu momentum penting dalam sejarah Kerajaan Galuh.
Dilansir dari buku Carita Parahiyangan (CP) yang disusun Abdurrachman, Etti RS, dan Edi S. Ekadjati yang merupakan rangkuman dalam bentuk populer dari naskah kuno yang diberi nama Carita Parahiyangan karya Pangeran Wangsakerta, peristiwa tersebut sering disebut Perjanjian Kaum Keluarga yang bertitimangsa 8 Maret 740 M.
Salah satu poin penting hasil perjanjian tersebut adalah mengakhiri perang saudara dan menetapkan penguasa Galuh dan Sunda.
Raden Kamarasa alias Rahyang Banga (keturunan Sanjaya) menjadi penguasa Sunda dan Raden Surottama alias Rahyang Manarah menjadi penguasa Galuh.
Setelah perjanjian tersebut, Galuh memasuki babak baru karena terjadi hubungan yang kompleks dengan Sunda. Pada tahun 784 M Sang Manarah meninggal.
Tahta Galuh kemudian diserahkan kepada menantunya, Sang Manisri yang bertahta dengan gelar penobatan Prabu Darmasakti Wirajayeswara.
Sejak Sanjaya menguasai Galuh dan Sunda, CP sebagai salah satu sumber utama sejarah dua kerajaan ini menuliskan sejarah keduanya secara beriringan sebab apa yang terjadi di Galuh berpotensi berpengaruh pada Sunda dan sebaliknya. Hubungan keduanya juga dipererat oleh perkawinan.
Kendati menjadi dua negara otonom yang memiliki kepimpin masing-masing, tetapi Galuh dan Sunda beberapa kali dipimpin oleh raja yang sama.
CP mengisahkan, pada tahun 853 M, kedua kerajaan ini dipimpin oleh satu raja, yaitu Rakeyan Wuwus atau Prabu Gajah Kulwan.
Baca Juga: Kapan Malam Nisfu Syaban? Simak Amalan yang Dianjurkan Menurut Ustadz Abdul Somad
Kendati demikian, ia menugaskan anaknya, Danghyang Guru Wisudha untuk menjadi raja wilayah di Galuh guna membantu tugas-tugasnya sebagai penguasa dua kerajaan besar.
Dalam situasi itu, Galuh menjadi kerajaan bawahan Sunda sebab Rakeyan Wuwus tinggal dan memerintah dari pusat pemerintahan Sunda di kawasan yang kini termasuk Kota Bogor.
Sementara, pusat pemerintahan Galuh masa itu terletak di kawasan yang kini termasuk Desa Karangkamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis.
Dikisahkan CP, seorang raja wilayah Galuh bernama Jayadrata yang memerintah sejak tahun 921 M memberontak pada Sunda sebab enggan menjadi “negara satelit”. Pemberontakan itu berhasil, tetapi memicu saling balas dendam antara Galuh dan Sunda.
Hubungan panas-dingin itu berlangsung sampai Prabu Dewa Sanghyang dari Kerajaan Sunda berhasil merebut tahta Galuh dan menjadikannya taklukan.
Sejak itu, hubungan Galuh dan Sunda terus mengalami pasang surut. Menurut Edi S. Ekadjati dalam buku tersebut, ada kalanya kedua kerajaan itu berdiri mandiri dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.
Edi yang merupakan pakar naskah Sunda Kuno dan Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Bandung, ini juga menjelaskan, ada pula masanya keduanya menjadi satu dan dipimpin oleh seorang raja seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Sanjaya (723-732) dan Sri Baduga Maharaja (1482-1521).
Pernah juga ada masa salah satu kerajaan lebih menonjol dibanding yang lain. Pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana di Galuh (1371-1475), kebesaran Galuh melebihi Kerjaan Sunda.
Sebaliknya, ketika keturunannya, Prabu Surawisesa memerintah di Sunda, pamor dan kemajuan Kerajaan Galuh kalah oleh Sunda.
Setelah Perjanjian Kaum Keluarga, CP mengisahkan suksesi tahta Galuh cenderung mulus tanpa pertumpahan darah besar-besaran seperti masa-masa awal lahirnya kerajaan ini.
Dikutip dari makalah berjudul “Ciamis atau Galuh” karya Mumuh Muhzib Z. yang dipresentasikan pada seminar sejarah bertajuk “Menelusuri Nama Daerah Galuh dan Ciamis: Tuntutan dan Harapan” pada 12 Desember 2012 di Padepokan Seni Budaya Rengganis, Ciamis, pada tahun 1595 Kerajaan Galuh jatuh ke tangan Kesultanan Mataram.
Ketika Sultan Agung berkuasa, Kerajaan Galuh diubah menjadi Kabupaten/Kadipaten Galuh dengan pemimpin pertamanya bernama Adipati Panaekan. Peristiwa ini terjadi tahun 1613.
Baca Juga: Jalan-jalan ke Perpustakaan Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Isinya Ratusan Ribu Koleksi
Peristiwa takluknya Galuh pada Mataram dan penurunan status dari kerajaan ke kabupaten ini menjadi babak baru bagi Galuh.***