Maman juga menulis, tampaknya SCB telah ditakdirkan sebagai pembuka jalan pembebasan dan kebebasan, dan pendobrak untuk tidak jadi bayang-bayang, epigonis, pembebek, seperti dinyatakan dalam puisinya yang berjudul ‘Husspuss’: ‘aku bukan penyair sekedar/aku depan/depan yang memburu_
Dami N Toda dalam esai berjudul Peta Perpuisian Indonesia 1970an dalam Sketsa tahun 1977, menjelaskan bahwa dalam 30 tahun terakhir tak ada yang menentang wawasan estetika perpuisian Chairil Anwar.
Namun di tahun 1972, di Bandung, meledaklah bom yang dilemparkan Sutardji Calzoum Bachri berupa kredo puisinya. Pernyataan itu tentu tidak cepat dipahami orang, jika saja ia tidak memperlihatkannya dalam karya-karyanya.
Baca Juga: Berburu Takjil di 7 Tempat Wisata Kuliner Viral Pasar Lama Tangerang, Banyak yang Unik dan Enak
Pengantar penerbit dalam O Amuk Kapak, Horison, 2002, menulis sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri pernah menjadi perdebatan di meja redaksi Horison yakni antara Taufiq Ismail dan HB Jassin. Jassin menolak saja-sajak SCB untuk diterbitkan oleh Horison.
Sementara Taufiq Ismail berkeras untuk menerbitkan puisi-puisi tersebut. Akhirnya HB Jassin mengalah, dan sajak-sajak Sutardji muncul di majalah Horison. Sejarah pun tercipta. Polemik dimulai dengan kesulitan untuk diakhiri.
Kritikus Sastra Arif B Prasetyo, 2002, menulis bahwa kebesaran Sutardji Calzoum Bachri awet hingga Abad XXI. Peredaran buku O Amuk Kapak ke perpustakaan-perpustakaan sekolah dan pesantren menjadikan SCB sebagai salah satu bahan ajar dan bacaan wajib mengenai perkembangan puisi di Indoenesia.