Remy Sylado: Kritik Film Harus Dikerangkai oleh Dramaturgi yang Benar (3)

- 31 Mei 2023, 11:05 WIB
Remy Sylado beri penjelasan soal sejarah keaktoran sebagai salah satu pengetahuan untuk membuat kritik film.
Remy Sylado beri penjelasan soal sejarah keaktoran sebagai salah satu pengetahuan untuk membuat kritik film. /Facebook/@remysylado/

Kata ‘hypokrites’ baru berubah makna, ketika kebudayaan Yunani dibawa ke luar di wilayah Palestina—masuk lingkung tamadun bangsa beragama samawi, yaitu yang memercayai satu Tuhan, dalam hubungan ini Yahudi—dan di situ ‘hypokrites’ yang berarti aktor itu, lantas diartikan sebagai sinonim ‘munafik’, dan pengertian ini berlanjut sampai sekarang dalam semua bahasa-bahasa Barat.

Perubahan Ini pertama kali terbaca dalam filologi Yunani Tarikh Masehi yaitu “Kata Maththaion” (6:2) karya Maththaios. Bahasa Inggris pertama kali menerjemahkan ini pada 1535 dibuat oleh Miles Coverdale , lalu direvisi oleh Raja James pada 1611. Teksnya adalah sebagai berikut: “Do not sound a trumpet before you as the hypocrites do in the synagogues and in the street…”

Pada zaman Yunani klasik tersebut para aktor yang melaksanakan drama atas dramaturgi itu, belum sampai pada kualifikasi seni peran seperti yang sekarang dikenal dan dipraktikkan dalam film.

Baca Juga: Wisata Kuliner Indonesia di KJRI Noumea 2023, Kebanjiran Ribuan Pengunjung

Sebab pada zaman itu sampai pun zaman Shakespeare di Inggris pada abad ke-17, aktor-aktor masih memakai topeng, dan bentuk pertunjukannya disebut ‘representasional’.

Yaitu dengan ciri-ciri ruang gerak yang eksternal dengan patron stilasi tertentu misalnya posisi tubuh (antaralain ‘execratione repellit’ dan ‘ploro’) serta pola-pola intonasi yang laras dengan melodi dan ritme (antaralain ‘recitativo secco’ dan ‘recitativo stromento’). Dua dramaturgi Shakespeare paling populer di film adalah “Hamlet” dan “Romeo and Juliet”.

Untuk memberi sekadar ilustrasi tentang intonasi yang laras dengan melodi dan ritme bisa ditunjuk dialog-dialog paling populer dalam “Hamlet” dan “Romeo and Juliet”. Yaitu:
“To be or not to be that is the question” (Hamlet)
“What is in a name that which we call a rose” (Romeo and Juliet).

Baca Juga: HTTS 2023, YLKI Prihatin Arah Kebijakan Pemerintah Belum Jelas dalam Pengendalian Konsumsi Rokok

Arketipe intonasi yang dilaraskan dengan melodi dan ritme yang merupakan kualifikasi estetika seni peran, sebagai ragam pertunjukan representasional, mulai bergeser melalui pandangan baru abad ke-18, naturalisme.

Begitulah seorang aktor dan sutradara Inggris ternama untuk berbagai peran dari karya dramaturgi Shakespeare, yaitu David Garrick pada 1741 memelopori akting naturalisme.

Halaman:

Editor: Dede Nurhidayat


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x