Remy Sylado: Kritik Film Harus Dikerangkai oleh Dramaturgi yang Benar (3)

- 31 Mei 2023, 11:05 WIB
Remy Sylado beri penjelasan soal sejarah keaktoran sebagai salah satu pengetahuan untuk membuat kritik film.
Remy Sylado beri penjelasan soal sejarah keaktoran sebagai salah satu pengetahuan untuk membuat kritik film. /Facebook/@remysylado/

KABAR PRIANGAN - Remy Sylado mengatakan bahwa kata aktor masuk ke Indonesia setelah Asrul Sani menerjemahkan buku “First Six Lessons” karya Richard Boleslavsky untuk bacaan para mahasiswa ATNI, Akademi Teater Nasional Indonesia, pada 1960, yang merujuk pada kata ‘pemain drama’.

Kemudian Remy Sylado menjelaskan lebih lanjut bahwa sejak itu, ‘pemain drama’ dan ‘pelakon film’—yang lebih berbobot dari sekedar ‘bintang film’—dilaraskan dengan bahasa Inggris ‘actor’, dan dieja ‘aktor’, bahkan dengan kapital A, yaitu sesuai dengan idealitas Konstantin Stanislavski, pelopor realisme, bahwa Aktor, bisa laki-laki bisa juga perempuan.

Hal itu disampaikan oleh Remy Sylado dalam Semiloka Penulisan Kritik Film dan Artikel Perfilman Tingkat Dasar yang merupakan rangakaian tahapan kegiatan Penyelenggaraan Apresiasi Film Indonesia 2018 di Swissbel Hotel, Bandung, pada 26 Juli 2018, silam.

Baca Juga: Misteri Tewasnya Siswa SMP di Makassar yang Diduga Jatuh dari Lantai Delapan, Tak Terekam CCTV

Budayawan kelahiran Makasar, 12 Juli 1945 itu, kembali menjelaskan awal sejarah kebudayaan teater—sebagai tempat di mana drama dipertunjukkan—yaitu dari bahasa Yunani ‘théatro’, tulisnya θέατρο, pada saat itu para aktor memperagakan perannya mengenakan topeng-topeng dengan pelbagai karakter.

Remy menerangkan sejarah aktor seperti yang dikutip oleh kabar-priangan.com pada 31 Mei 2023, berikut ini:

Kala itu ‘pemain drama’ belum disebut aktor. Semua yang melakonkan peran-peran di atas teater itu disebut ‘hypokrites’, tulisnya υποκριτής. Demikian keterangan yang bisa dibaca dalam “Memorabilia” (II. 2.9) karya Xenophon, serta juga dalam “Symposium” (194 B ) karya Sokrates, dan juga dalam Republik (373 B ) karya Plato.

Baca Juga: 'We Need Food, Not Tobacco', Tema Kampanye Hari Tanpa Tembakau 2023, Cek Twibbonnya di Sini!

Kata ‘hypokrites’ baru berubah makna, ketika kebudayaan Yunani dibawa ke luar di wilayah Palestina—masuk lingkung tamadun bangsa beragama samawi, yaitu yang memercayai satu Tuhan, dalam hubungan ini Yahudi—dan di situ ‘hypokrites’ yang berarti aktor itu, lantas diartikan sebagai sinonim ‘munafik’, dan pengertian ini berlanjut sampai sekarang dalam semua bahasa-bahasa Barat.

Perubahan Ini pertama kali terbaca dalam filologi Yunani Tarikh Masehi yaitu “Kata Maththaion” (6:2) karya Maththaios. Bahasa Inggris pertama kali menerjemahkan ini pada 1535 dibuat oleh Miles Coverdale , lalu direvisi oleh Raja James pada 1611. Teksnya adalah sebagai berikut: “Do not sound a trumpet before you as the hypocrites do in the synagogues and in the street…”

Pada zaman Yunani klasik tersebut para aktor yang melaksanakan drama atas dramaturgi itu, belum sampai pada kualifikasi seni peran seperti yang sekarang dikenal dan dipraktikkan dalam film.

Baca Juga: Wisata Kuliner Indonesia di KJRI Noumea 2023, Kebanjiran Ribuan Pengunjung

Sebab pada zaman itu sampai pun zaman Shakespeare di Inggris pada abad ke-17, aktor-aktor masih memakai topeng, dan bentuk pertunjukannya disebut ‘representasional’.

Yaitu dengan ciri-ciri ruang gerak yang eksternal dengan patron stilasi tertentu misalnya posisi tubuh (antaralain ‘execratione repellit’ dan ‘ploro’) serta pola-pola intonasi yang laras dengan melodi dan ritme (antaralain ‘recitativo secco’ dan ‘recitativo stromento’). Dua dramaturgi Shakespeare paling populer di film adalah “Hamlet” dan “Romeo and Juliet”.

Untuk memberi sekadar ilustrasi tentang intonasi yang laras dengan melodi dan ritme bisa ditunjuk dialog-dialog paling populer dalam “Hamlet” dan “Romeo and Juliet”. Yaitu:
“To be or not to be that is the question” (Hamlet)
“What is in a name that which we call a rose” (Romeo and Juliet).

Baca Juga: HTTS 2023, YLKI Prihatin Arah Kebijakan Pemerintah Belum Jelas dalam Pengendalian Konsumsi Rokok

Arketipe intonasi yang dilaraskan dengan melodi dan ritme yang merupakan kualifikasi estetika seni peran, sebagai ragam pertunjukan representasional, mulai bergeser melalui pandangan baru abad ke-18, naturalisme.

Begitulah seorang aktor dan sutradara Inggris ternama untuk berbagai peran dari karya dramaturgi Shakespeare, yaitu David Garrick pada 1741 memelopori akting naturalisme.

Kepeloporan naturalisme Inggris ini kemudian dilanjutkan menjadi realisme di Prancis oleh André Antoine pada abad ke-19, pelopor ‘mise en scéne’ melalui Théâtre Libre.

Dan akhirnya puncak realisme, diwawas oleh Konstantin Stanislavsky dengan metode psikologikal melalui Moscow Art Theatre di awal abad ke-20.

Baca Juga: Heboh Seorang Pria Lansia di Banjar Meninggal Dunia Bersimbah Darah dan Ada Luka, Ditemukan Uang Puluhan Juta

Lantas puncak realisme Stanislavsky ini mendunia karena dimanfaatkan dan dipropagandakan di Amerika oleh Lee Strasberg dan Elia Kazan terhadap aktor-aktornya di Broadway dan Hollywood.

Itulah sejarah keaktoran yang perlu diketahui oleh para penulis dan jurnalis untuk membuat kritik film.***

Editor: Dede Nurhidayat


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x