Salah satu yang ia kritisi adalah nasib perempuan dalam politik elektoral. Dalam sistem politik di Indonesia, partai politik baru bisa ikut pemilu jika memiliki 30% keterwakilan perempuan baik dalam komposisi bakal calon anggota legislatif maupun komposisi pengurus partai di tingkat pusat.
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam dunia politik. Namun, Bode mengkritisi praktik aturan ini dalam prakteknya malah seolah menjadikan perempuan sebagai komoditas politik belaka, sekadar menjadi syarat, tanpa sampai pada esensi emansipatifnya.
Dosen sastra pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unsil ini juga menyoroti sejarah relasi perempuan dan kekuasaan. Sejak zaman dahulu perempuan sering kali dijadikan 'senjata politik' atau mata-mata oleh kaum lelaki demi kekuasaan.
Ia berhadap dengan dipentaskannya lakon ini, masyarakat bisa kembali teringatkan bahwa perempuan punya nilai dan derajat yang sama dengan laki-laki.
Di samping itu, ia berpesan secara khusus kepada perempuan, utamanya yang belum menikah, agar selalu mawas diri, jangan sampai bernasib seperti Sutinah.***