Perang Dentuman Lodong Sambut Kemenangan Idul Fitri di Kabupaten Tasikmalaya

16 Mei 2021, 15:08 WIB
Persiapan perang lodong di Kampung Sukasari Desa Rancapaku Kecamatan Padakembang, Kabupaten Tasikmalaya. /kabar-priangan.com/Aris MF/

KABAR PRIANGAN - Permainan perang lodong atau meriam sundut menjadi salah satu tradisi khas tahunan masyarakat Kabupaten Tasikmalaya.

Di beberapa tempat, perang lodong ini seolah menjadi budaya yang tidak pernah ditinggalkan ketika malam takbiran dan beberapa malam berikutnya di bulan Syawal.

Suara dentuman lodong yang dibuat antar kampung menjadi penanda meraih kemenangan yang fitri, seusai menjalankan puasa satu bulan penuh.

Baca Juga: Wisata Alam Curug Badak Menjadi Primadona Wisatawan di Libur Lebaran 2021

Suaranya pun menggelegar dan terdengar hingga radius 2 KM. Pasalnya lodong yang dibuat ini rata-rata berukuran raksasa, yakni dengan panjang 6 meter sampai 8 meter, serta diameter lingkaran lodong 0,5 meter sampai 1 meter.

Bedil lodong dari pohon aren meriahkan Idul Fitri

Beberapa wilayah di Kabupaten Tasikmalaya yang rutin menjadikan perang lodong yakni di Desa Jangala Kecamaran Sukaraja, Desa Sukahideung Kecamatan Sukarame Desa Cintajaya Kecamatan Tanjungjaya, Desa Sukaraja Kecamatan Rajapolah dan Desa Rancapaku Kecamatan Padakembang.

Meski demikian, sudah dua tahun ini di beberapa tempat tersebut vakum dari kegiatan perang lodong akibat masa pademi Covid-19. Hingga pada tahun ini, hanya di Desa Rancapaku Kecamatan Padakembang dan Desa Sukaraja Kecamatan Rajapolah saja yang masih mempertahankan tradisi Perang Lodong, walau dengan jumlah yang lebih sedikit.

Baca Juga: Viral, Video Wisatawan Berjubel Tanpa Protokol Kesehatan, Pantai Batu Karas Pangandaran Langsung Ditutup

Salah satu tokoh pemuda sekaligus pembuat lodong di Kampung Sukasari Desa Rancapaku Kecamatan Padakembang, Fatoni mengatakan, jika tradisi permaianan Perang Lodong di wilayahnya sudah ada sejak ada sejak tahun 2000-an.

Kala itu digagas tokoh masyarakat di sana hingga hampir di setiap kampung membuat lodong andalannya guna dinyalakan pada malam takbiran. Dari san tradisi tersebut tetap lestari dan dilaksanakan setahun sekali.

"Kalau dulu bisa sampai belasan buah per kampung. Karena dulu kompak setiap kampung bikin lodong. Kalau tahun ini hanya 4 buah saja," jelas dia.

Baca Juga: Mahkamah Partai Golkar Putuskan Musda ke-X DPD Golkar Kab. Sumedang Harus Diulang

Bagi Fatoni dan masyarakat Desa Rancapaku lainnya, Lodong bukan sekedar permainan. Akan tetapi juga sebagai media meluapkan kegembiraan kemenangan setelah berpuasa sebulan penuh. Masyarakat pun menjadikan kegiatan ini sebagai salahsatu tradisi yang harus dilestarikan.

Dalam membuat lodong pun tidak mudah. Dimulai dengan pemilihan batang pohon aren (kawung) yang berukuran besar, menebang, mengangkutnya, membelah menjadi dua bagian, hingga menyatukannya kembali dengan simpul iket terbuat dari anyaman bambu. Selain butuh waktu dan ketelatenan, proses inipun membutuhkan cukup biaya dan banyak orang.

Akan tetapi semua itu dirasa sangat mudah ketika dilakukan secara bergotong-royong. Masyarakat bahu membahu menyelesaikan pengerjaan meriam lodong ini hingga selesai. Jika dihitung-hitung, satu meriam lodong siap pakai ini menghabiskan biaya Rp 500.000 hingga Rp 800.00 perbuahnya.

Baca Juga: Ridwan Kamil Intruksikan Akses ke Pangandaran Ditutup. Video Wisatawan Berjubel di Pantai Batu Karas Viral

Ada juga yang menghabiskan Rp 1,5 juta. Tergantung ukuran dan besar lodong. Untuk ongkos kerja yang tidak dihitung karena dikerjakan secara sukarela.

Itu pun belum biaya membeli batu karbit sebagai pengganti mesiu meriam. Sebab satu malam saja bisa menghabiskan 25 kg - 50 kg batu karbit.

"Satu lodong saja harus diangkat lebih dari 10 orang. Saking besar dan beratnya lodong yang dibuat," jelas Fatoni.

Sementara itu, di Desa Janggala Kecamatan Sukaraja, setidaknya ada tiga kampung yang rutin membuar lodong berukuran raksasa, yakni di Kampung Koleberes, Cempaka dan Tonjong. Sayang dua tahun ini vakum akibat menjaga suasana pandemi covid-19.

Sebab di Desa Jangala, perang lodong sudah menjadi hiburan umum yang disaksikan rutin oleh ribuan masyarakat dari berbagai wilayah. Guna mencegah kerumunan masa yang menonton, maka untuk sementara ditiadakan.

Baca Juga: Wisatawan Terjebak Macet Berjam-jam di Kawasan Gunung Gelap Jalur Menuju Kawasan Wisata Garut Selatan

"Kalau untuk tahun ini dan tahun kemarin, kita terpaksa libur dulu. Karena situasinya kurang memungkinkan akibat pandemi Covid-19," jelas Kepala Desa Janggala, Asep Ahmad Kastoyo.

Meski begitu, pada tahun-tahun berikutnya, jika pandemi Covid-19 sudah berakhir, kemeriahan perang meriam lodong di Desa Jangala dipastikan bakal digelar kembali. Bahkan pemerintah desa berencana membuat sebuah event khusus Perang Lodong, tidak hanya terbatas pada momen Idul Fitri saja.

Dikatakan Asep, masyarakat dan pemerintah desa sangat menyuport dilestarikannya meriam lodong menjadi salah satu destinasi seni tradisi. Hal ini selain sudah turun temurun puluhan tahun juga dinilai sangat kaya akan nilai sejarah. Dimana dentuman Lodong mengingatkan kembali akan suasana perjuangan merebut kemerdekaan melawan penjajah.

Baca Juga: Anggota DPRD Jabar Minta Bupati Ade Sugianto Segera Atasi Anjloknya IPM Kab. Tasikmalaya

"Dari segi filosofi, lodong menjadi bagian penting mengusir penjajah di tanah Priangan. Sehingga sejak tahun '60-an sudah rutin digelar di desa kami," tambah Asep.

Masyarakat mengaku seolah kurang apdol bila menutup penghujung Ramadan tanpa membunyikan meriam lodong. Tanpa harus dikomando, mereka secara swadaya dan bergotong royong membuat lodong.

Sekali buat tidak tanggung-tanggung jumlahnya bisa sampai puluhan unit. Semua dinyalanan silih berganti dan saling bersautan satu sama lain.***

Editor: Teguh Arifianto

Tags

Terkini

Terpopuler