Ragam Versi Rawa Onom Kota Banjar dan Kisah R Bratanagara, 'Eksistensi' Onom Sempat Ada Saat Hari Jadi Ciamis

28 Februari 2023, 23:46 WIB
Wilayah Rawa Onom Kota Banjar tampak dari atas.*/Antara News /

KABAR PRIANGAN – Kota Banjar yang merupakan daerah pemekaran Kabupaten Ciamis memiliki sejumlah cagar budaya. Salah satunya adalah Cagar Budaya Pulo Majeti yang terletak di Kecamatan Purwaharja. 

Cagar Budaya Pulo Majeti yang merupakan salah satu destinasi wisata andalan Kota Banjar sering dikaitakan dengan cerita-cerita mistis. Sampai saat ini banyak pengunjung yang datang dengan maksud berziarah atau tujuan-tujuan lain yang lekat dengan mistisme.

Hal ini tidak terlepas dari kisah yang beredar di masyarakat mengenai tempat yang sering disebut pula Rawa Onom ini. Sebagaimana cerita rakyat lain, kisah yang berkaitan dengan tempat ini memiliki banyak versi. 

Baca Juga: Tempat Wisata di Atas Bukit Putri Kota Banjar, Keindahan Taman Kehati yang Selalu Terkenang di Hati

Salah versi tertulis yang berhasil ditelusuri Kabar Priangan adalah cerita yang ditulis RA Danadibrata dalam buku berbahasa Sunda berjudul "Onom Jeung Rawa Lakbok" terbitan Pustaka Jaya tahun 2009. Penulis buku tersebut menyatakan bahwa cerita yang ia tulis mengenai Rawa Onom atau Pulo Majeti bersumber dari penuturan R Bratanagara, inisiator pembukaan lahan Rawa Onom pada tahun 1917.

Patih Makar

Dahulu, kawasan yang kini dikenal dengan nama Rawa Onom tersebut merupakan bagian dari Kerajaan Galuh. Penguasa Galuh waktu itu mempercayakan pengelolaan kawasan tersebut pada seorang patih yang tinggal di salah satu “pulau” di rawa tersebut bernama Pulo Majeti.

Dikisahkan dalam buku tersebut, patih itu memerintah dengan semena-mena dan membuat rakyatnya menderita. Karena merasa berkuasa seperti raja, ia memerintahkan rakyatnya untuk memanggilnya Prabu Anom (Raja Muda).

Baca Juga: Selama Tahun 2023 Ada 101 Event yang Bakal Digelar di Kota Tasikmalaya, Dari Tadarus on the Street hingga TOF

Rakyat yang merasa benci padanya memanggilnya Prabu Onom sebagai bentuk sindiran. Onom sendiri umum dimaknai sebagai nama sejenis mahluk astral atau "jurig" dalam bahasa Sunda. Buku tersebut menjelaskan, karena penguasanya bernama Prabu Onom, nama rakyatnya pun ada onom. Sejak saat itulah daerah tersebut bernama Rawa Onom.

Ngabukbak Rawa Onom

Selain mengisahkan sasakala (asal-usul) nama tempat, buku tersebut juga berisi cerita tentang R Bratanagara, Wedana Rancah tahun 1907-1914, ketika pertama kali membuka lahan di Rawa Onom. 

Pada masa kolonial, kawasan yang kini bagian dari Kecamatan Purwaharja, Kota Banjar, tersebut merupakan tersebut bagian dari Kawedaan Rancah. Kewadaan tersebut terdiri dari tiga kecamatan, yaitu Rancah, Rajadesa, dan Cisaga. Waktu itu, daerah Pulo Majeti masih menjadi bagian dari Kecamatan Cisaga. 

Baca Juga: Gudang Elpiji di Bungursari Tasikmalaya Disegel Polisi, Diduga Mengoplos Gas Melon dengan Tabung 12Kg

Pada tahun 1917, ketika R. Bratanagara telah pensiun sebagai wadana, ia memutuskan untuk ngabukbak Rawa Onom dan menjadikannya lahan produktif bagi warga sekitar.

Sebelum mulai membuka lahan, wedana yang disebut hobi berburu ini, meminta izin kepada Bupati Ciamis masa itu, RAA Sastrawinata. Bupati yang mengubah nama Galuh menjadi Ciamis ini pun senang mendengar rencana tersebut dan memberi bantuan berupa 100 buah cangkul, 100 buah parang, 100 buah arit, dan pil kina sebagai obat anti-Malaria bagi pekerja.

Kala itu, penduduk yang tinggal disekitar Rawa Onom sering terjangkit Malaria karena tinggal di daerah rawa yang sering menjadi sarang nyamuk. Buku tersebut menuliskan bahwa penderita Malaria di sekitar kawasan tersebut sering kali nampak seperti Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) karena bertingkah aneh. Mereka juga disebut sering melihat yang tidak masuk akal.

Tahun pertama pembukaan lahan, hanya sedikit orang yang turut serta membantu karena sebagian besar warga merasa takut. Mereka yang bersedia pun mengjukan syarat agar R Bratanagara mendoakan secara khusus pada saat awal mula pembukaaan. Warga meyakini mantan wedana tersebut sakti mandraguna.

Baca Juga: Disdukcapil Tindaklanjuti Keluhan Satu Keluarga yang Tak Punya KTP di Kabupaten Pangandaran

Pada tahun berikutnya, setelah warga merasakan hasil panen mereka di ladang baru tersebut lebih banyak dari penen biasanya, barulah banyak orang ingin turut serta menggarap tanah. Menyikapi fenomena tersebut, Bupati Ciamis RAA Sastrawinara lantas memberikan hak kepada R. Bratanagara untuk membagikan tanah tersebut kepada para petani yang menggarap. 

Versi lain

Selain cerita yang tertulis dalam buku Onom Jeung Rawa Lakbok tersebut, ada beberapa versi cerita mengenai Rawa Onom yang beredar di masyarakat. Satu versi menyebut bahwa patih penguasa Pulo Majeti bernama Patih Selang Kuning dan isterinya bernama Gandawati.

Mereka berdua berhasil menjadikan kawasan tersebut maju. Karena keberhasilannya, Patih Selang Kuning bermaksud memisahkan diri dari Kerajaan Galuh dan mengangkat dirinya sebagai prabu. Namun, karena enggan berkonflik dengan Galuh, ia memilik tilem (berpindah alam) ke alam siluman (onom) bersama seluruh rakyatnya sampai saat ini.

Baca Juga: Pemkab Ciamis Mendapat Penghargaan Indeks Reformasi Birokrasi Predikat B dari Kemenpan RB

Versi lain menyebut Raja Galuh menghukum patih serta rakyatnya karena berniat memisahkan diri dengan cara menjadikannya siluman dan “pasukan gaib” Kerajaan Galuh. Pengakuan atas “eksistensi” Onom Galuh ini masih dapat dilacak pada Proses Seni Ngebral Pataka dalam rangkaian Hari Jadi Ciamis sampai sekitar pertengahan tahun 2000.

Pada acara tersebut selalu disediakan kuda kosong yang diarak dari Pendopo Ciamis ke Gedung DPRD Ciamis. Sebagian orang meyakini kuda tersebut ditunggangi oleh Onom yang turut serta merayakan Hari Jadi Ciamis. Namun, sejak pertengahan tahun 2000 hal tersebut tidak lagi dilakukan karena dianggap tidak sesuai denga nilai-nilai agama Islam.***

Editor: Arief Farihan Kamil

Tags

Terkini

Terpopuler