Dari Journalist Camp PRMN Eiger 2023, Deni Yudiawan: Pandemi Telah Mengubah Segalanya

29 Agustus 2023, 20:54 WIB
Jurnalis Deni Yudiawan (kanan) berbincang dengan VP Business & Technology PRMN Idham Arifin (kiri) dan Pegiat Alam Galih Donikara disela-sela kegiatan Journalist Camp PRMN Eiger 2023 di Sari Ater CamperVan Park, Ciater, Kabupaten Subang, Kamis 24 Agustus 2023.*/kabar-priangan.com/Arief Farihan Kamil /

KABAR PRIANGAN - Pandemi Covid-19 yang terjadi pada tahun 2020 hingga 2022 telah mengubah segalanya, salah satunya identitas diri. Setelah pandemi selesai orang-orang pun mencari identitas masing-masing, termasuk keinginan dan kebutuhannya. "Keinginan saya sebelum pandemi berbeda dengan keinginan setelah pandemi. Anak-anak sekolah juga sama,
misalnya sekarang tanya kepada anak-anak SD mendingan daring (online) atau luring (offline), jawabannya daring karena ada perbedaan," ujar Deni Yudiawan, jurnalis senior di Bandung itu, Kamis 24 Agustus 2023.

Deni Yudiawan menyampaikan hal tersebut saat menjadi pemateri bertema Socio Eco Journalism dalam kegiatan Journalist Camp PRMN Eiger 2023 di Sari Ater CamperVan Park, Palasari, Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Kegiatan yang digelar kolaborasi PRMN dan Eiger ini diikuti 41 peserta dari jaringan media area Bodebek dan Jawa Barat di bawah naungan Pikiran Rakyat Media Network. 

Menurut Deni Yudiawan, perubahan lainnya setelah terjadi pandemi yaitu adanya peningkatan kapasitas diri. Ketika kini internet gampang diakses dan belajar juga bisa memakai internet, tetapi mendapat pekerjaan susah. Karena itulah banyak orang yang mencari di internet untuk meningkatkan kapasitas diri. "Orang berani beli kelas, ikut kursus, dan itu sangat laku," tutur pria yang sedang menggeluti bidang manajemen dan kewirausahaan digital tersebut.

Baca Juga: Inovasi Eiger dalam Dunia Petualangan Alam Bebas di Indonesia, Kian Ramah Lingkungan dengan Produk Ecosavior

Selain itu ada kengintahuan tentang budaya lokal dan mencari sesuatu yang sangat lokal. Deni mencontohkan Bali yang setelah pandemi ramainya kebanyakan oleh orang lokal Indonesia. Orang-orang ingin mencari tahu tentang budaya lokal karena uangnya sudah tak ada. "Orang ingin main ke luar tapi uangnya terbatas sehingga mencari apa yang ada di daerah sekitarnya. Saat ini kan inflasi tinggi, bahkan diprediksi saat ini sedang susah-susahnya karena tabungan sudah pada habis, ekonomi masih merangkak belum seperti dulu lagi. Namun bagaimana kita bisa healing kalau ekonominya susah," ujar Koordinator Digital Newsroom di Pikiran Rakyat tahun 2016-2018 serta jurnalis HU Pikiran Rakyat tahun 2002-2016 itu.

Hal yang menarik, sambung Deni, dalam mencari identitas diri tersebut data pencarian di Google tentang healing sangat tinggi sampai naik 200 persen lebih. "Itu meningkat dari tahun-tahun sebelumnya sehingga terlihat orang itu benar-benar ingin healing," ucapnya.

Karena ekonomi susah dan kondisi keuangan seret, orang pun berpikir praktis bagaimana dengan uang yang sedikit itu bisa mendapatkan value yang banyak. Tak heran aktivitas seperti glamping naik. "Sesuatu yang bisa hemat tapi mendapatkan value lebih. Efeknya secara langsung terhadap lingkungan. Banyak generasi muda sekarang kalau dilihat dari demografi Badan Pusat Statistik (BPS) sekitar 60 persen, dan orang-orang muda sangat peduli terhadap lingkungan," kata
Deni.

Baca Juga: Dari Journalist Camp PRMN Eiger 2023, Galih Donikara: Alam Mengandung Bahaya, Kita Mengundang Bahaya

Pengajar di Prodi Sastra Inggris Unpas Bandung sejak 2021 hingga sekarang tersebut kemudian mencontohnya persoalan polusi yang mengemuka lagi baru-baru ini. "Itu kalau enggak dieundeuk-eundeuk oleh orang muda mungkin tak akan ramai. Kan setiap tahun juga polusi kenapa ramainya
sekarang? karena ada pressure dari generasi muda yang mulai sadar tentang lingkungan lalu diramaikan di media sosial dan lain-lain yang membuat pemerintah pasti tertekan," ujarnya.

Staycation Meningkat

Hal lain yang banyak dicari selain healing adalah staycation yaitu mengisi liburan di lokasi yang dekat dengan rumah atau di dalam kota. Soalnya banyak orang yang ingin jalan-jalan tapi tak punya uang sehingga daripada ke mall yang akan mengaluarkan banyak uang lebih memilih ke alam bebas. "Kemah di daerah Soreang, dengan Rp 20.000 bisa dapat untuk dua orang. Berbeda dengan jalan-jalan ke kota, jajajan beli anu-beli anu minimal keluar Rp 200 ribu-Rp 300 ribu. Tapi kalau ke alam bebas apa yang mau dibeli, warung juga enggak ada," tutur Deni.

Berhubungan dengan healing itulah bisnis jasa yang meningkat setelah pandemi lainnya diantaranya open trip. Deni menyabutkan, misalnya di Bandung kalau kita ingin ke Gunung Merbabu atau Gunung Sindoro dengan uang Rp 400 ribu-Rp 500 ribu per orang semuanya sudah ditanggung. Peserta tak perlu membawa tenda atau perlangkapan kemah, namun harus ada
kuota minimal 16 orang karena menghitung kapasitas Elf.

Deni Yudiawan saat menyampaikan materi dalam Journalist Camp PRMN Eiger 2023 di Sari Ater CamperVan Park, Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat, Kamis 24 Agustus 2023.*/kabar-priangan.com/Arief Farihan Kamil  

Kalau tidak open trip ada private trip, paling bedanya naik Rp 300 ribu-Rp 400 ribu. Jumlah itu jauh lebih enak dan murah juga dibandingkan kita secara pribadi pergi ke Bali. "Satu hal masalah value ini adalah netizen kita itu ingin mewah tapi murah makanya carinya glamping. Glamping-glamping sekarang juga tak terlalu mahal dibandingkan di hotel. Kalau di hotel rata-rata di Bandung Rp 600 ribu, glamping dengan tarif Rp 500 ribu juga sudah bisa sekeluarga," ucapnya.

Perubahan lainnya setelah pandemi adalah keinginan untuk enjoy atau kesenangan. Setelah pandemi yang membuat orang-orang seolah stres, lalu mencari kesenangan. Tak heran penonton konser dan staycation naik, salah satunya aktivitas ke alam bebas. Di gunung-gunung seperti Ciremai atau Merbabu, dalam seminggu open trip pasti ada. "Jadi demand-nya itu tinggi. Dari demand itu nyambungnya ke fenomenanya seperti fenomena sekarang polusi naik," kata Deni.

Baca Juga: Kisah Khansa Syahla Pendaki Gunung Perempuan Termuda Indonesia, Usia 17 Tahun Telah Mendaki 83 Gunung

Misalnya lagi, fenomena Pandawara yang hanya satu grup terdiri beberapa orang namun bisa mengajak ribuan orang untuk membersihkan sampah. "Pemerintah saja tak bisa seperti itu. Itulah fenomena yang terjadi sekarang," tutur Deni.

Koneksi dengan Jurnalisme

Dari fenomena tersebut, lantas bagaimana koneksinya dengan jurnalisme? Menurut Deni, fungsi utama jurnalisme adalah memberikan gambaran kepada masyarakat agar bisa mengembil keputusannya sendiri, bukan bertujuan supaya harus begini-begitu, tapi jurnalis harus memberi beberapa fakta supaya masyarakat bisa memutuskan apa yang terbaik untuk mereka.

"Masalahnya, bgaimana masyarakat bisa memutuskan sesuatu kalau fakta atau datanya tak ada. Misalnya tadi open trip, permintaan tinggi tapi kenyataannya seperti apa? Kan jarang yang mengungkap. Misalnya banyak penipuan, banyak yang ditelantarkan, nah informasi seperti itu sedikit sedangkan orang ingin pergi open trip banyak," tutur Deni.

Baca Juga: Ini Formasi Seleksi CASN 2023 untuk Kabupaten Garut, Sekda: Rekrutmen Prioritaskan Honorer Lama

Selanjutnya tentang kualitas informasi yang disajikan. Mengenai hal ini Deni flashback ke tahun 2019. Saat itu waktu awal-awal bediri Jabar Saber Hoax sebelum pandemi, menyebutkan hoaks paling tinggi adalah tentang bencana alam setelah politik. Ketika itu politik naik lalu turun setelah Pemilu Presiden 2019, dan hoaks yang tinggi mengenai bencana alam. "Tingkat literasi masyarakat yang rendah lalu diberi informasi tentang bencana alam. Bencana alam di Cina, diklaim terjadi di daerah yang dekat kita. Karena itulah pentingnya informasi yang valid dan terverifikasi karena pertahanan jurnalisme itu adalah verifikasi, tak ada yang lain," ucapnya.

Deni kemudian memberi gambaran tentang demand yakni besaran kebutuhan atau keinginan konsumen tarhadap suatu produk. Dalam bisnis, jika membahas tentang jual beli harus tahu demand-nya. "Misalnya membuat keripik maka harus ada dan tahu konsumennya. Begitu juga dengan berita. Media jualnnya konten, percuma bikin sesuatu tapi misalkan orang enggak suka, kan enggak dibaca," tuturnya.

Supaya tulisan tentang lingkungan lebih menarik, faktor yang harus diperhatikan jika mengejar traffic maka demand-nya dulu harus dipenuhi. Berikutnya yang tak kalah penting karena sebagaiorang media adalah etika. Etika pengambilan sumber, etika verifikasi, Kode Etik
Jurnalistik tetap harus dipegang. "Lalu fakta di lapangan, bukan fakta di media sosial. Sekarang bentuk verifikasi itu banyak, bisa melalui telepon, getting ke lokasi dan lainnya. Data-data orsinil yang diperoleh itu seharusnya yang diangkat lebih banyak," ucapnya.***

 

Editor: Arief Farihan Kamil

Tags

Terkini

Terpopuler