Hikmah Ramadan: Saum dan Kemajemukan Sosial

- 8 Mei 2021, 10:23 WIB
Dr. H. Tatang Ibrahim, M. Pd, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Bandung
Dr. H. Tatang Ibrahim, M. Pd, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Bandung /DOPK PRIBADI/

BUKAN hanya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang harga mati itu, takwa pun bisa katakan harga mati, sebagaimana digambarkan dalam surat Albaqarah 183:

”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

Target ibadah puasa adalah membentuk manusia muttaqien. Takwa adalah melaksanakan perintah ibadah yang diwajibkan Allah Swt, dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.

Dengan kata lain orang tersebut mampu mengajak berbuat baik (makruf) dan melarang berbuat buruk (mungkar).

Saum atau puasa tidak hanya diperintahkan kepada umat Nabi Muhammad saw, tetapi juga diperintahkan pada umat terdahulu, tujuannya sama yaitu agar menjadi orang yang bertakwa (muttaqiin).

Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir yang dimaksud umat terdahulu yaitu Ahlul Kitab. Sedangkan menurut beliau, takwa yang dimaksud yakni takwa yang kaffah, sungguh-sungguh, holistik dan komprehenship, tidak setengah-setengah.

Takwa itu harus seperti nyerek ikan bogo supaya tidak lepas begitu saja, sehingga takwa sebagai bekal hidup dan kehidupan mendarah daging dalam dirinya. “Sebaik-baiknya bekal adalah takwa”(QS Albaqarah 197).

Tidak mudah memang memperoleh gelar takwa. Mudah diucapkan, sulit dilaksanakan.

Sebagai manusia tentu saja tak luput dari dosa per dosa, pasang surut keimanan dan ketakwaan seringkali terjadi, setiap saat kita berbuat dosa.

Namun Allah tetap memberikan ampunan kepada orang-orang yang selalu memperbaiki jati dirinya (tajdidul hayataka) untuk terus bertaubat, salah satunya melaksanakan saum di bulan Ramadan.

Saum dengan sebaik-baiknya, penuh keimanan dan ketakwaan serta berharap keridhoan-Nya, sebagaimana dikatakan sebuah hadis:

“Siapa yang melaksanakan ibadah saum Ramadan dengan iman dan mengharapkan pahala dari Allah, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR Bukhari).

Maksud Allah mengampuni dosa-dosa masa lalu, hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang setiap saat berharap ampunan (maghfiroh), rida-Nya, dan surga-Nya.

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa," (Ali Imran 133).

Jika target saum itu takwa, maka harus bisa menumbuhkan jiwa kesetiakawanan sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu beriring bersama dalam segala hal, baik dengan sesama muslim, bahkan dengan nonmuslim.

Kodrat inilah kemudian dinamakan kemajemukan sosial. Artinya kerja sama terjadi bukan dalam muamalaah, melainkan kadang kerja sama dalam pelaksanaan ibadah.

Kerja sama sosial dalam bentuk muamalah (jual beli) dengan orang nonmuslim seringkali dilakukan. Hampir semua umat Islam pernah bertransaksi dengan nonmuslim, baik skala kecil maupun besar.

Misalnya seorang muslim mau ganti mobil baru kala menghadapi Lebaran, bisa saja membeli dari orang nonmuslim di sebuah ruang pamer mobil, pembelian vaksin Covid-19 dimungkinkan dari negara yang mayoritas nonmuslim.

Dalam beribadah pun bisa terjadi, misalnya umat Islam melaksanakan ibadah haji atau umroh ke tanah suci Makkah bisa saja menggunakan jasa pilot non muslim.

Kerja sama sosial semacam ini tidak bisa kita hindari. Dan tidak bertentangan dengan firman Allah:

”Wahai manusia, sesunggunya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mengenal” (QS Alhujurat: 13).

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dikatakan pada garis besarnya semua manusia apabila ditinjau dari unsur kejadiannya —yaitu tanah liat— sampai dengan Adam dan Hawa a.s. sama saja.

Dengan demikian kemajemukan sosial menjadi keniscayaan apabila kita sebagai kaum yang beriman menghindarinya.

Kemajemukan sosial merupakan sunnatulloh yang harus kita rawat bersama dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih di suasana wabah covid-19 yang masih menghantui umat manusia, saatnya kita menumbuhkan rasa empati kepada sesama umat dan bangsa, tanpa memandang suku, ras, agama dan yang lainnya.***

Oleh Dr. H. Tatang Ibrahim, M. Pd.
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Editor: Zulkarnaen Finaldi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah