KABAR PRIANGAN - Pada tanggal 17 Juli 15 tahun lalu, gempa dan tsunami melanda Pangandaran.
Tsunami yang menyapu Pangandaran kala itu terjadi setelah gempa dengan magnitudo 7,7 mengguncang Pangandaran dan sekitarnya.
Getaran gempa saat itu terasa hingga ke Jakarta, Yogyakarta bahkan Surabaya.
Pada waktu itu masyarakat belum menyadari akan terjadi tsunami meski tahu air laut surut setelah terjadi gempa bumi. Hal ini dikarenakan masyarakat belum memahami tanda-tanda tsunami.
Sehingga pada saat tsunami tiba beberapa menit setelah terjadi gempa besar akhirnya menelan ratusan korban jiwa. WHO mencatat sebanyak 668 korban jiwa dan 65 orang dinyatakan hilang.
Tsunami Pangandaran 2006 juga menghantam bagian selatan Nusakambangan dalam periode waktu 30 menit.
Pada hari ini, Sabtu 17 Juli 2021 untuk memperingati gempa dan tsunami Pangandaran, Bandung Mitigasi Hub (BMH) mengadakan diskusi online dengan judul 15 Tahun Tsunami Senyap Pangandaran: Lessons Learnt, Challeges and Mitigation.
Dengan menghadirkan dua narasumber yaitu Dr.Abdul dari BNPB dan N. Rahma Hanifa, D.Sc dari LIPI.
Plt. Kepala Pusat Data Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan, Abdul Muhari menyatakan tsunami di Indonesia adalah sebuah keniscayaan.
Abdul Muhari juga menyebutkan apabila suatu daerah pernah terjadi tsunami, maka hal itu kemungkinan dapat terulang kembali. Oleh karena itu mitigasi adalah kunci.
“Kalau dia pernah terjadi di masa lalu, pasti terjadi di masa depan. Maka perlu mengingatkan masyarakat apa yang bisa kita pelajari untuk mitigasi ke depan,” jelas Abdul Muhari.
Abdul mengatakan pada saat bencana tsunami pada 2006 lalu, sistem peringatan dini dan mitigasi bencana di Indonesia termasuk Pangandaran belum ada.
Baca Juga: Estimasi Biaya Penyelenggaraan Pilkada Mencapai Hampir Seratus Miliar Rupiah
Tsunami 2006 dijelaskan oleh Abdul Muhari didahului oleh gempa “mengayun” berbeda dengan gempa tsunami Aceh.
Proses pelepasan energi gempa pada 2006 itu naik turun, sehingga masyarakat di pesisir tidak terlalu merasakannya.
Apa yang harus dipahami yaitu peringatan dini yang penting untuk diperhatikan. Periode gempa Pangandaran waktu itu hampir lebih dari 3 menit, tidak seperti gempa Yogya dan Padang.
Baca Juga: Demo PPKM Darurat Covid-19 di Kota Banjar Diwarnai Kericuhan
“Gempa yang pelepasan energinya cukup lama itu bisa diidentifikasi sebagai gempa yang berpotensi tsunami,” jelas Abdul.
Abdul juga mengatakan jika merasakan gempa ketika berada di kawasan pesisir dengan durasi lebih dari 30 detik atau malah lebih dari 60 detik maka segera evakuasi dari pantai karena besar kemungkinan akan terjadi tsunami.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Rahma Hanifa menjelaskan beberapa persepsi tentang tsunami earthquake.
Tsunami earthquake/tsunami senyap yaitu mengacu ke tsunami yang lebih besar dari karakteristik gempa nya itu sendiri.
Karena jarak pusat gempa ke pesisir hampir 200 km, maka gempa di Pangandaran 15 tahun lalu pada pukul 15.19 wib ke terjadinya tsunami pada pukul 16.15 wib atau hampir satu jam kemudian.
Dalam paparan yang dijelaskan oleh Rahma, terlihat juga estimasi awal BMG saat itu di magnitude 6.8 dan kemudian Pacific Tsunami Warning Center saat itu mengeluarkan isu hati-hati kalau terjadi tsunami namun tidak sampai ke masyarakat Pangandaran.
JMA dari Jepang juga memberitahu untuk memperhatikan adanya tsunami.
Rahma pun membandingkan intensitas gempa, sebenarnya gempa Tasik pada 2009 lebih kuat dibanding gempa Pangandaran pada 2006.
Di akhir paparannya, Rahmi menjelaskan tentang tipe-tipe tsunami sehingga perlu memperkuat beberapa skenario strategi resiko tsunami.
Baca Juga: PPKM Darurat Diperpanjang. Wagub Jabar Sudah Berikan Isyarat Sebelumnya
“Kita gak akan bisa bilang gempa jangan datang, tsunami jangan terjadi. Tapi yang ingin kita bangun adalah saat bencana datang, masyarakat punya kemampuan untuk menghadang ancaman,” pungkas Rahma. ***