Ngobrol Santai dengan Agus AW, Angklung Sered Balandongan Tasikmalaya dan Pendidikan Karakter

- 18 Januari 2023, 22:25 WIB
Kesenian angklung sered balandongan yang dimainkan para pelajar dan pemuda dalam sebuah acara di UPI Bandung beberapa waktu lalu.*
Kesenian angklung sered balandongan yang dimainkan para pelajar dan pemuda dalam sebuah acara di UPI Bandung beberapa waktu lalu.* /Tangkapan layar video/Dok. Agus AW /

Wiratanuningrat juga yang kemudian memberi nama angklung adu pada kesenian ini, sekitar tahun 1908. "Kenapa dinamakan angklung adu, karena dahulu kesenian ini juga menjadi ajang adu kekuatan fisik. Jadi ada dua pihak yang bertanding sambil memainkan angklung di lapangan. Mereka saling dorong dengan pundak, betis, lengan, dan tangan, istilahnya jogol munding," ujar Agus.

Tak hanya beradu fisik, para pemain juga memakai ilmu kebatinan untuk memenangkan pertandingan tersebut. Demikian juga jurus-jurus yang dipakai, sangat beragam, seperti jurus hayam apung, belut putih, paleredan, dan cimande.

Baca Juga: Brigade Taliban dan Aktivis Masyarakat Muslim Tasikmalaya Unjuk Rasa di Bale Kota, Ini Tuntutannya

Karena tampilannya yang unik, maka kesenian angklung dari Balandongan ini berbeda dengan kesenian angklung yang ada di daerah lain. Menurut Agus, angklung sered bahkan tidak memiliki surupan (tangga nada) seperti waditra lain.

"Menurut empu angklung yakni Aki Ejen, surupan angklung sered itu disebut Nada Rasa. Tak punya tingkatan nada seperti pelog, salendro, atau madenda," ucapnya menambahkan.

Cara mainnya ya menurut rasa pemainnya saja. Karena itu angklung sered itu tak bisa dipakai untuk bernyanyi, hanya untuk berlaga alias adu kekuatan saja. "Hingga beberapa tahun lamanya kesenian ini bernama angklung adu. Baru sekitar tahun 1950, seorang empu angklung dari Balandongan yang bernama Bah Sa'in, mengubah namanya menjadi angklung sered balandongan," kata seniman jebolan STSI (sekarang ISBI) Bandung ini.

Baca Juga: Dua Terdakwa Kasus Korupsi Proyek Jalan di Sumedang Divonis 1 Tahun 6 Bulan Penjara

Pascakemerdekaan, bentuk angklung di Balandongan juga berubah, tak ada lagi bagian yang runcing. Demikian juga bentuk pergelarannya, kini menjadi semacam entertainment yang tak lagi dipengaruhi unsur-unsur magis atau kebatinan, meski tentu saja adegan saling dorong, saling sered, beradu fisik, tetap ada. Bahkan pada perkembangan berikutnya, kesenian ini juga dilengkapi dengan waditra pengiring selain angklung, juga dengan tarian.

Keberadaan angklung sered balandongan ini, tahun 1950-an, diakui oleh Penilik Kebudayaan Kewedanaan Singaparna saat itu yakni Didi Gunawan, sebagai kesenian khas yang harus dilestarikan.

Maka, lanjut Agus, ada upaya untuk mengembangkan kesenian ini di luar Balandongan, seperti di Desa Cihandeuleum dan Desa Sukasukur Mangunreja, serta di Kampung Naga Salawu, sempat ada grup kesenian angklung sered, hanya saja tidak berkembang. "Ya, karena para jawara angklung serednya ada di Balandongan semua, seperti Aki Mas'ud, Aki Mahyar, Abah Aja, dan lainnya," ujar Agus AW.

Halaman:

Editor: Arief Farihan Kamil


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x