“Nilainya tetap sama meningkatkan taqwa, menghormati leluhur, silaturahmi dengan sesama, dan menjaga alam. Tuhan, manusia, dan alam, gitu pola budaya leluhur kita. Selalu komprehensif,” ungkap Ridwan.
Menurutnya, dulu masyarakat juga memiliki kebiasaan mandi di mata air keramat sebelum puasa sebagai simbol menyucikan diri.
Namun, hari ini tidak banyak yang melakukannya. Mata air yang dikeramatkan tersebut berada di dalam hutan yang pada tahun 2016 ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Ekosistem Esensial oleh pemerintah.
Menurut legenda setempat, mata air itu merupakan tempat Eyang Panghulu Gusti menuangkan air zam-zam yang ia bawa dari Tanah Suci Mekkah.
Seraya menuang air tersebut ia berdoa agar mata air tersebut menjadi berkah bagi seluruh warga desa.
Eyang Panghulu Gusti sendiri merupakan tokoh yang diyakini sebagai leluhur yang membuka desa Ciomas dan penyebar agama Islam di sana.
Dikutip dari buku Boekoe Sedjarah Galoeh karangan R.H. Gun Gun Gurnadi yang memuat silsilah raja-raja Galuh dan Sunda, Eyang Pangulu Gusti tercatat menikah dengan Nyi Mas Siti Fatimah.
Merupakan keturunan ke-9 dari Sri Baduga Maharaja atau yang lebih sering diidentikan sebagai Prabu Siliwangi, Nyi Mas Siti Fatimah sendiri diperkirakan hidup pada abad ke-17.***