Mengenang Tragedi Mei 1998, Membekas dalam Sejarah Pergerakan Bangsa Indonesia

- 1 Mei 2023, 20:56 WIB
Syamsul Ma'arif, salah seorang mantan aktivis mahasiswa di Kabupaten Pangandaran/Kabupaten Ciamis, mengenang peristiwa Mei 1998.*/kabar-priangan.com/Istimewa
Syamsul Ma'arif, salah seorang mantan aktivis mahasiswa di Kabupaten Pangandaran/Kabupaten Ciamis, mengenang peristiwa Mei 1998.*/kabar-priangan.com/Istimewa /

KABAR PRIANGAN - Bulan Mei bagi kelompok gerakan di Indonesia menjadi kenangan yang membekas dalam sejarah perjuangan dan perlawanan terhadap Rezim Orde Baru. Setelah terjadi Tragedi Mei 1998, kekuatan Orde Baru di bawah Soeharto dengan Golongan Karya waktu itu tumbang atas prakarsa rakyat dan mahasiswa melalui gerakan reformasi.

Seperti diketahui, Tragedi Mei 1998 merupakan peristiwa kelam ketika pada 12 Mei empat mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta meninggal serta puluhan lainnya luka-luka, akibat penembakan saat demonstrasi menuntut Presiden Soeharto turun dari jabatannya.

Keesokan harinya, 13-15 Mei terjadi kerusuhan besar-besaran di Jakarta dan sejumlah daerah lain yang menyebabkan banyak orang meninggal dan pusat perbelanjaan hangus. Sepekan kemudian, 21 Mei, Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun memutuskan "lengser keprabon" dari jabatannya, di tengah tekanan puluhan ribu mahasiswa yang menduduki Gedung DPR Jakarta.

Baca Juga: VIRAL! Pencurian Motor Matic di Ciamis Terekam CCTV, Pelaku 'Santuy' Padahal Lokasi Ramai Jalur Utama Nasional

Syamsul Ma'arif, salah seorang mantan aktivis mahasiswa di Kabupaten Pangandaran (dulu masih kecamatan bergabung dengan Kabupaten Ciamis), menyampaikan komentar terhadap perjalanan atas Tragedi Mei 1998. "Mei 1998 telah berlalu selama 25 tahun silam melalui gerakan reformasi,"
kata Syamsul yang akrab disapa Sulenk Abdi Sagara di Pangandaran, Minggu 30 April 2023.

 

Ia menyebutkan, gerakan reformasi tidaklah gratis, melainkan harus dibayar tunai dengan darah, nyawa, dan air mata. "Gerakan reformasi lahir dari darah, keringat, air mata, luka dan memar puluhan ribu rakyat dan mahasiswa," ucap mantan pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kabupaten Ciamis itu.

Berkat gerakan reformasi, lanjut Syamsul, sejak itulah kebebasan dibuka, mulai dibangun fondasi demokrasi untuk merangkai kembali harapan di atas kesetaraan tanpa diskriminasi. Partai baru berdiri, kebebasan pers dibuka lebar, banyak organisasi buruh, tani dan organisasi rakyat dideklarasikan.

Tak hanya itu, jabatan Presiden RI dibatasi menjadi dua periode, pemilihan anggota legislatif, pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung dengan suara terbanyak. "Sejarah mencatat gerakan reformasi tidak semulus yang diharapkan, bahkan banyak
pembenci gerakan reformasi kini malah menikmati hasil reformasi. Mereka pembenci gerakan reformasi termasuk yang menembak, menculik, menyiksa dan membunuh rakyat dan mahasiswa kini menjadi penikmat utama atas tragedi kelam masa lalu," ucapnya.

Baca Juga: Anies Baswedan Makan di Resto Cibiuk, Beli Surabi danTerkesan Selama di Garut

Menurut Syamsul, gerakan reformasi memang belum sempurna tapi pelan-pelan buah reformasi mulai tumbuh dan dinikmati banyak orang termasuk mereka yang menolak reformasi. "Generasi yang bergerak pada reformasi 1998 berbeda dengan generasi 1966. Atas perbedaan itu jadi anekdot antara generasi disayang dan dibuang," ujarnya.

Syamsul menyebutkan, pelaku gerakan tahun 1966 hanya menggelar aksi dalam rentang waktu 60 hingga 90 hari, namun mereka menikmati jabatan dan kekuasaan selama 33 tahun. Berbeda dengan pelaku gerakan reformasi 1998 yang tidak memiliki hak istimewa seperti pelaku 1966. Kekuatan pelaku 1998 embrionya dimulai sejak 1996 dan mulai reda pada tahun
2000. "Aktivis 1966 mendapat dukungan militer, sedangkan aktivis 1998 direpresi oleh militer," ucapnya.

Selain itu, dari jumlah korban, Aktivis 1966 meninggal dua orang, sedangkan aktivis 1998 meninggal lebih dari 30 orang. "Aktivis 1966 meninggal dua orang dan keduanya diberi gelar pahlawan lalu diabadikan jadi nama jalan. Aktivis 1998 dari 30 lebih yang meninggal tidak
seorang pun di berikan gelar pahlawan dan tidak ada yang diabadikan menjadi nama jalan," tuturnya.

Baca Juga: Jumlah Kendaraan Naik Drastis Jalur Gentong Tasikmalaya Macet, Hari Ini Diprediksi Puncak Arus Balik Lebaran

Aktivis 1966 beberapa bulan setelah Soeharto dilantik menjadi Presiden RI, sebagian menjadi anggota DPR tanpa melalui pemilu. Sedangkan Aktivis 1998 sampai hari ini tidak ada yang diangkat secara istimewa menjadi anggota DPR tanpa pemilu.

"Aktivis 1966 setiap periode pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun selalu ada yang diangkat menjadi menteri sebagai representasi ide yang diperjuangkan generasinya," ucap warga Desa Cintaratu Kecamatan Parigi Kabupaten Pangandaran itu.

Ditambahkan Syamsul, perlu disadari bersama bahwa perbandingan dua generasi itu dengan segala kekurangan, kelemahan, dan kesalahan yang mungkin terjadi dalam proses sejarah itu sendiri. "Semua pilihan punya harga masing-masing, harga yang harus dibayar entah sekarang bahkan entah kapan," ujar Syamsul yang kini menjabat Sekretaris Badiklat DPC PDI Perjuangan Kabupaten Pangandaran tersebut.***

Editor: Arief Farihan Kamil


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x