Untuk permainan lain, seperti senam massal dan sepak bola dilaksanakan di Lapangan Alun-alun Ciamis. Pada pelaksanaannya timbullah persoalan. Murid-murid SGB sering berebut lapangan dengan murid-murid SMP Ciamis. Saat itu, anak-anak SMP tersebut sering tak mau mengalah, dan "menguasai" lapangan alun-alun untuk kegiatan mereka berolahraga.
Akhirnya, pihak SGB bersama masyarakat membangun lapangan yang kini menjadi Lapangan Lokasana. "Lahan yang dibuat lapangan itu dulu lokasi kuburan lama. Bapak lupa, apakah kuburannya dipindahkan atau tidak. Yang jelas dulu anak-anak SGB bersama warga bekerja bakti membuat lapangan itu, yang kini menjadi Lapangan Lokasana," ujar H. Otong.
Pada tahun 1958, Otong lulus dari SGB, dan langsung mendapat surat pengangkatan atau SK sebagai guru. Sebelum lulus, para murid SGB kelas III harus melakukan praktik mengajar, dan Otong mengajar di SR Bebedilan. Setelah lulus, ia hanya diberi waktu tiga bulan untuk beristirahat, dan langsung mendapat tugas untuk mengajar di SR Kawunglarang, Kecamatan Rancah.
Untuk menunaikan tugasnya, Otong setiap hari harus berjalan kaki dari Tigaherang ke Kawunglarang yang berjarak sekitar delapan kilometer. "Saat itu, lulusan SGB langsung diangkat, mendapat ikatan dinas dan mendapat tunjangan. Syaratnya lulus SGB harus menjadi guru minimal dua tahun. Tapi tak semua lulusan SGB yang seangkatan bapak menjadi guru. Ada juga yang berwiraswasta meneruskan usaha orang tuanya," kata H. Otong.
Pada tahun-tahun itu, nama SR sebenarnya sudah berubah menjadi Sekolah dasar (SD), tapi kebanyakan orang tua masih menyebutnya SR. Otong mengajar di SD Kawunglarang selama setahun, dan meminta dipindahkan ke SD Tigaherang, agar jaraknya lebih dekat dari rumah. Apalagi, saat itu gerombolan DI/TII masih ada dan banyak kejadian yang mencekam akibat dari perbuatan mereka.
Permohonannya dikabulkan oleh penilik dari dinas Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (PP dan K) Ciamis saat itu, hingga ia bisa mengajar di SD Tigaherang yang saat itu kepala sekolahnya adalah ayahnya sendiri.