Menurut International Energy Agency (IEA), produksi CO2 yang paling besar merupakan hasil pembakaran bahan bakar fosil yang mencapai 56 persen dari total semua emisi global. Presentase tersebut berasal dari sekitar 7500 instalasi besar pengemisi CO2 (large stationary point resource), yang menghasilkan lebih dari satu juta ton emisi karbon setiap tahunnya.
Baca Juga: Sinopsis Sinetron Jangan Bercerai Bunda di RCTI Sabtu 23 Desember 2023: Arga Ketemu Anak Kandungnya
IEA menyimpulkan bahwa 60 persen dari jumlah tersebut merupakan emisi karbon dari pembakaran di tungku Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang bersumber dari batubara, 11 persen dari PLTG, dan 7 persen dari PLTD. Sementara industri lain menyumbang 3 hingga 7 persen.
Maka untuk mengurangi emisi karbon yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan, diperlukan upaya pengendalian, salah satunya dengan Carbon Capture Storage. Namun upaya tersebut tidak semudah yang dibayangkan karena gas memiliki karakateristik yang bertekanan rendah, sehingga diperlukan proses tambahan yang juga membutuhkan energi yang cukup besar.
Fakta tersebut membutuhkan inovasi yang lebih efektif dan efisien dalam proses Carbon Capture Storage. Selain itu diperlukan perhatian khusus untuk pengembangan teknologi, legalisasi, dan pembiayaannya, sebelum diterapkan secara penuh di Indonesia.***