Tim FPIPS UPI di SMPN 1 Cisarua KBB; Hindari Kekerasan Seksual, 'Early Warning' Harus Dipahamkan kepada Anak

- 31 Juli 2022, 17:22 WIB
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan FPIPS UPI Bandung Dr Siti Nurbayani, MSi, dan tim yaitu Dr Rama Wijaya Abdul Rozak, MPd, dan Vini Agustiani Hadian, MPd, saat melaksanakan program early warning untuk mencegah kekerasan seksual terhadap anak di SMP Negeri 1 Cisarua, KBB, Rabu 27 Juli 2022.*
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan FPIPS UPI Bandung Dr Siti Nurbayani, MSi, dan tim yaitu Dr Rama Wijaya Abdul Rozak, MPd, dan Vini Agustiani Hadian, MPd, saat melaksanakan program early warning untuk mencegah kekerasan seksual terhadap anak di SMP Negeri 1 Cisarua, KBB, Rabu 27 Juli 2022.* /Kabar-Priangan.com/Dok. FPIPS UPI Bandung

KABAR PRIANGAN - Kasus kekerasan seksual terhadap anak semakin mengkhawatirkan dan cenderung menjadi tren negatif di masyarakat. Tak hanya di kota-kota besar, kekerasan seksual juga marak terjadi di daerah hingga desa-desa.

Kompleksitas kehidupan perkotaan menyebabkan banyaknya tindak kriminal, terutama kepada perempuan dan anak. Bahkan, saat ini tren kekerasan seksual sudah merambah ke pedesaan di
berbagai provinsi.

Hal itulah yang menyebabkan Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia (FPIPS UPI) Bandung Dr Siti Nurbayani, MSi, dan tim yaitu Dr Rama Wijaya Abdul Rozak, MPd, dan Vini Agustiani Hadian, MPd, melaksanakan program early warning (peringatan dini) untuk mencegah tindak kekerasan seksual kepada anak.

Baca Juga: UMKM Expo dan Gelar Budaya, Sarana Promosi Produk dan Ajang Pelestarian Budaya di Sumedang

Program yang membahas permasalahan anak, orangtua, guru, serta semua pihak tersebut berlangsung Rabu, 27 Juli 2022 di SMP Negeri 1 Cisarua Kabupaten Bandung Barat (KBB). Kegiatan dipimpin Kepala SMP Negeri 1 Cisarua Agus Solihin, SPd, MPd.

Bu Yeni, sapaan akrab Siti Nurbayani, mengawali penelitiannya dari kasus Emon di Sukabumi yang menyebabkan ratusan anak menjadi korban kekerasan seksual. Kasus Emon ini ternyata memiliki dampak terhadap korban yaitu beberapa dari korban, kini bergeser menjadi pelaku. Para korban merupakan anak-anak usia sekolah TK dan SD.

Hal inilah yang membuat Yeni berkonsentrasi pada riset-riset berkaitan kekerasan seksual pedofilia hingga menghasilkan model Delian, Delima, dan Delisa. Model tersebut menjadi alternatif solusi terintegrasi antara keluarga, masyarakat, dan sekolah dalam pencegahan kekerasan seksual pedofilia.

Baca Juga: Gempa di Aceh Jaya Hari Ini Memiliki Parameter Update Magnitudo 5,4 Akibat Aktivitas Subduksi

Kegiatan yang dilaksanakan di SMP Negeri 1 Cisarua berupa sosialisasi program early warning kepada para guru yang dihadiri oleh 45 orang. Para guru yang hadir diberikan pemahaman terkait indikator kekerasan fisik, non-fisik, dan verbal.

Selain itu, fokus utama kegiatan yaitu memberikan edukasi kepada para guru terkait grooming yang marak terjadi pada anak secara langsung bertemu fisik maupun secara digital.

Yeni menjelaskan secara detail terkait skema grooming yang dilakukan oleh para groomer. Skema ini terdiri atas lima tahapan secara sistematis yaitu membangun kepercayaan, membangun kesamaan pikiran, memberi hadiah, bersimpati, dan memberi nasihat.

Baca Juga: Kemenparekraf Dorong Peningkatan SDM Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Desa Wisata Garut

Rangkaian tersebut ditujukan untuk membangun relasi psikologi agar tercipta kenyamanan, rasa aman, dan kepercayaan dari calon korban.

Pada digital grooming, tahapannya lebih terstruktur dengan memanfaatkan smartphone. Tahapan digital grooming diawali dengan membuat akun palsu di media sosial.

"Akun palsu ini biasanya menduplikasi akun guru, orang terdekat calon korban, atau memasang foto profil palsu," tutur Yeni didampingi Anggota Tim Rama dan Vini.

Baca Juga: Komentar Kocak Bobotoh Usai Persib Dipermalukan Madura United di Kandang Sendiri. ‘Jomblo Mah Hampuraeun’

Yeni menjelaskan bahwa dengan tahapan ini saja sudah terlihat begitu terencananya kekerasan seksual pedofilia. Tahap selanjutnya yaitu proses grooming untuk mendapatkan kepercayaan dari anak.

"Kemudian, para groomer akan meminta nomor kontak aktif di Whatsapp dan memberikan instruksi atau meminta korban untuk merekam bagian-bagian sensitifnya dengan berbagai alasan," ujar Yeni.

Melihat maraknya kekerasan seksual pedofilia di masyarakat, Yeni menilai pendidikan seksual kepada anak sudah tidak bisa ditawar lagi. Harus diubah paradigma pendidikan seksual di masyakarat yang sering dianggap negatif dan tabu.

Baca Juga: Kalahkan Persib Bandung 3-1, Pelatih Madura United, Fabio Lafundes Puji Permainan Mantan Pemain Maung Bandung

Padahal pendidikan seksual untuk anak lebih pada penyampaian dan pemahaman terkait integriras tubuh, bukan pada hal alat reproduksi.

Tim itu pun menawarkan beberapa solusi yang bisa dilakukan oleh guru yaitu menyisipkan pendidikan seksual (integritas tubuh) dalam materi pelajaran, pengawasan kegiatan siswa di sekolah, memaksimalkan konseling di sekolah, dan membentuk tim cepat tanggap di sekolah terkait tindak kekerasan seksual.

Kegiatan ini mendapatkan respons sangat positif dari semua peserta karena membuka wawasan terkait grooming dan kekerasan seksual pedofilia. "Guru menjadi peserta utama karena perannya yang multifungsi yaitu sebagai orang tua, pendidik, dan bagian dari masyarakat," ucap Yeni.

Baca Juga: Siap-siap! Aturan Ini Diberlakukan Maka Kendaraan yang Pajaknya Mati 2 Tahun Akan Dianggap Bodong

Yeni dan tim dari FPIPS UPI Bandung berharap guru-guru menyebarluaskan informasi yang dimilikinya terkait kekerasan seksual pedofilia untuk mengedukasi masyarakat lebih peduli
terhadap keamanan anak.

"Sehingga tercipta desa ramah anak, sekolah ramah anak, dan gambaran luasnya ialah kabupaten/kota ramah anak," tutur Yeni.*

Editor: Arief Farihan Kamil


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah