Dampak Covid-19, Pengiriman Jagung Biasanya 250 Ton, Kini Setengahnya

- 21 Februari 2021, 07:00 WIB
Gubernur Jabar, Ridwan Kamil saat mengikuti panen raya jagung di salah satu perkebunan jagung di kawasan Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut belum lama ini.*
Gubernur Jabar, Ridwan Kamil saat mengikuti panen raya jagung di salah satu perkebunan jagung di kawasan Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut belum lama ini.* /Kabar-Priangan.com/Aep Hendy S/

Tak tanggung-tanggung, tutur Asep, tingkat penurunan serapan jagung dari petani oleh perusahaan pakan ternak mencapai sekitar 50 persen. Hal ini tentu sangat merepotkan para petani jagung di Garut karena hasil panen jagung yang melimpah tak bisa diserap semuanya oleh pihak perusahaan.

Menurut Asep, sebelum masa pandemi Covid-19 biasanya dalam satu kali panen raya ia bisa mengirim hingga 10 tronton dimana tiap tronton berisi 25 ton jagung ke pabrik pakan ternak.

Baca Juga: Yuk! Ngegowes Ke Situ Bagendit Sambil Minum Air Kelapa Muda

Namun selama masa pandemi Covid-19, pabrik hanya menerima kiriman maksimal 5 tronton karena merek telah mengurangi produksinya.

Artinya, jika satu tronton berisi 25 ton jagung, berarti setiap panen raya, pengiriman jagung bisa mencapai 250 ton jagung. Dan kini, pengiriman jagung turun menjadi 125 ton saat panen raya.

Ia menyebutkan, selain turun hingga 50 persen, pengiriman jagung ke pabrik pakan ternak pun saat ini tidak tentu. Pihaknya baru bisa mengirim ketika ada permintaan dari pihak pabrik saja. Padahal sebelumnya, semua hasil panen jagung bisa langsung dikirimkan ke pabrik.

Baca Juga: Blogger Asal Tasikmalaya Menangi Digital Content Competition 2020

"Saya sempat ngobrol dengan pihak pabrik terkait alasan penurunan tingkat serapan jagung oleh pabrik. Menurutnya, pihak pabrik terpaksa mengurangi jumlah produksi pakan ternak karena sejak pandemi Covid-19, tingkat penjualan menurun akibat melemahnya daya beli masyarakat," katanya.

Diungkapkan Asep, kondisi kian parah lagi dengan adanya pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang telah menyebabkan pabrik kian mengurangi jumlah produksinya.

Hal ini dilakukan karena pihak pabrik juga tak mau menempuh resiko kerugian lebih besar jika tetap memaksakan produksi dalam jumlah yang banyak.

Halaman:

Editor: Zulkarnaen Finaldi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah