Gegerhanjuang dan Penamaan Kampung di Kaki Galunggung, Begini Ceritanya

- 17 Februari 2021, 06:00 WIB
Sebuah gerbang masuk Kampung Parigi di kaki Gunung Galunggung. Dulu konon kabarnya merupakan pertahanan Kerajaan Galunggung
Sebuah gerbang masuk Kampung Parigi di kaki Gunung Galunggung. Dulu konon kabarnya merupakan pertahanan Kerajaan Galunggung /Dok. Kabar Priangan / Teguh Arifianto/

 

KABAR PRIANGAN - Jika masyarakat yang belum pernah berkunjung ke wilayah Kecamatan Leuwisari bagian utara, tepatnya Desa Linggawangi dan Linggamulya, ada beberapa daerah yang terasa asing, seperti Kampung Bolodog, Kampung Parigi, Kampung Sindangraja serta kampung lainnya.

Bagi masyarakat yang pernah berkunjung pun, mereka hanya mengenal nama daerah saja tak banyak yang mengetahui mitos atau cerita rakyat penamaan daerah-daerah tersebut.

Nah, kami sajikan tulisan cerita atau mitologi nama daerah tersebut dari orang yang mengaku pemerhati sejarah setempat, bahkan ia adalah warga asli yang berada di Gegerhanjuang, sebagai situs cikal bakal berdirinya Tasikmalaya yang lokasinya berada di kaki Gunung Galunggung sebelah selatan.

Diawali dengan nama Gegerhanjuang, sebuah kebataraan dan kemudian menjadi kerajaan yang kini menjadi Tasikmalaya saat ini.

Baca Juga: Miris, Akses Jalan ke Situs Gegerhanjuang Cikal Bakal Tasikmalaya Dibiarkan Amburadul

Salah seorang pemerhati sejarah Geger Hanjuang, Dede Farid Sidik menuturkan, penamaan lembur di dua desa yakni Linggawangi dan Linggamulya Kec. Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya sangat erat kaitannya dengan sebuah Kebataraan Galunggung. Sebut saja kata Dede nama daerah Bolodog, Kalieum, Sindangraja, Dago, Parigi dan blok sawah Rumantak.

"Ya, kata orang tua dulu, semua nama daerah itu sangat erat kaitannya dengan Kebataraan khususnya era Kerajaan Galunggung saat itu. Dimana konon saat itu, sang Raja saling berkunjung satu sama lain. Dan kampung-kampung itu adalah daerah yang dilintasi kerajaan lain saat hendak berkujung ke Kerajaan Galunggung,"ucapnya.

Kampung Rawa Kalieung yang berada di Desa Linggawangi ucapnya, berawal dari kalimat angkleung-angkleung atau diiring-iring.
Karena saat pasukan kerajaan lain yang akan bertamu ke Kerajaan Galunggung kata Dede, sang tamu diangkleung-angkleung oleh penduduk setempat sebagai prosesi penyambutan. Lama-lama kalimat angkleung menjadi Kalieung hingga saat ini dinamai Lembur Kalieung.

Baca Juga: Hari Ini di Banjar, Seorang Terkonfirmasi Covid-19 Meninggal Dunia

Setelah upacara penyambutan atau angkleung itu, Sang Raja yang hendak bertamu ke Raja Galunggung diistirahatkan terlebih dahulu untuk mampir sejenak di satu tempat, sebelum masuk ke kerajaan sambil menunggu penyambutan cara kraton. Dan tempat tersebut sampai kini dinamakan Sindangraja.

Setelah itu mampir di satu tempat yang kini disebut Lembur Sindangraja, Sang Raja ucap Dede mulai berangkat ke tempat pusat pemerintahan/kraton yang dinamakan Rumantak, dan Rumantak sampai saat ini tak berubah tetap bernama blok persawahan Rumantak, tempat ditemukannya prasasti Batu Angon dan Batu Garu.

Namun pasukannya tak diperbolehkan masuk, tetapi harus menunggu di suatu lapangan atau warga setempat saat itu menyebutnya pandagoan. Sambil menunggu rajanya bertamu ke Raja Galunggung, pasukan pengiring ada yang bercengkrama dengan penduduk setempat, ada pula yang berlatih kemahiran atau adu dogol. Lama-lama daerah itu hingga kini bernama Situ Jogol di Kampung Dago Desa Linggamulya.

"Nah nama Parigi, itu artinya parit atau sungai kecil yang mengelilingi kerajaan di Rumantak. Parit yang mengelilingi itu berfungsi sebagai pertahanan jika ada serangan dari kerajaan lain. Dan sampai saat ini di Parigi ada dua sungai kecil yakni Ciompo dan Cisela. Dua sungai itu mengelilingi blok sawah Rumantak saat ini,"ucap Dede yang mengaku asli keturunan Galunggung dari turun temurun.

Baca Juga: Akhirnya Bupati Ciamis Berkesempatan Jalani Vaksinasi Bareng Nakes

Dari kisah tersebut ucap Dede yang betul-betul mempelajari sejarah kesundaan, tak lepas dari prasasti Gegerhanjuang, disaat masa Kebatarian Hyang Batari Jana Pati. Sebenarnya ucap dia masih banyak kisah-kisah Kebataraan Galunggung yang belum diketahui masyarakat luas yang nyaris hilang ditelan zaman.

Beruntung ada pihak-pihak yang betul-betul konsen terhadap sejarah ini, salah satunya mahasiswa arkeologi UGM yang membuat penelitian tentang Gegerhanjuang.

"Nama mahasiswa itu Tira. Ia melakukan penelitian sekaligus mencari bukti-bukti konkret antara ucapan sesepuh, cerita rakyat dengan ilmiah akademik. Hasilnya, Tira bisa membuktikan kebenaran antara cerita rakyat tentang Gegerhanjuang dengan ilmu pengetahuan ilmiah. Dan hasilnya itu katanya kepada saya mendapat apresiasi dari dosennya yang bergelar profesor. Saya bangga, ada akademisi yang meneliti secara ilmiah tentang Gegerhanjuang,"ucapnya.

Sehingga ia menjadi sangat meyakini kebenaran amanat atau wasiat Galunggung tentang saat ini dan masa lampau. "Ternyata wasiat Galunggung tentang Hana nguni hana mangke, Tan hana ngunu tan hana mangke. Hana tunggak hana watang. Hana ma tunggulna aya tu catangna betul adanya. Insya Allah saya akan terus melestarikan sejarah ini sebagai kewajiban saya sebagai asli Galunggung,"ucapnya.***

Editor: Teguh Arifianto


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x