Dikisahkan dalam buku tersebut, patih itu memerintah dengan semena-mena dan membuat rakyatnya menderita. Karena merasa berkuasa seperti raja, ia memerintahkan rakyatnya untuk memanggilnya Prabu Anom (Raja Muda).
Rakyat yang merasa benci padanya memanggilnya Prabu Onom sebagai bentuk sindiran. Onom sendiri umum dimaknai sebagai nama sejenis mahluk astral atau "jurig" dalam bahasa Sunda. Buku tersebut menjelaskan, karena penguasanya bernama Prabu Onom, nama rakyatnya pun ada onom. Sejak saat itulah daerah tersebut bernama Rawa Onom.
Ngabukbak Rawa Onom
Selain mengisahkan sasakala (asal-usul) nama tempat, buku tersebut juga berisi cerita tentang R Bratanagara, Wedana Rancah tahun 1907-1914, ketika pertama kali membuka lahan di Rawa Onom.
Pada masa kolonial, kawasan yang kini bagian dari Kecamatan Purwaharja, Kota Banjar, tersebut merupakan tersebut bagian dari Kawedaan Rancah. Kewadaan tersebut terdiri dari tiga kecamatan, yaitu Rancah, Rajadesa, dan Cisaga. Waktu itu, daerah Pulo Majeti masih menjadi bagian dari Kecamatan Cisaga.
Pada tahun 1917, ketika R. Bratanagara telah pensiun sebagai wadana, ia memutuskan untuk ngabukbak Rawa Onom dan menjadikannya lahan produktif bagi warga sekitar.
Sebelum mulai membuka lahan, wedana yang disebut hobi berburu ini, meminta izin kepada Bupati Ciamis masa itu, RAA Sastrawinata. Bupati yang mengubah nama Galuh menjadi Ciamis ini pun senang mendengar rencana tersebut dan memberi bantuan berupa 100 buah cangkul, 100 buah parang, 100 buah arit, dan pil kina sebagai obat anti-Malaria bagi pekerja.