Pengalaman Guru Sepuh di Ciamis, H. Otong Soekarso (Bagian 3): Membuat Lapangan Lokasana, Diangkat jadi Guru

5 Maret 2023, 21:23 WIB
H. Otong Soekarso (87) masih bisa mengingat nama-nama guru yang mengajarnya di SGB 1 Ciamis, tahun 1950-an.* /kabar-priangan.com/istimewa/

KABAR PRIANGAN - Seperti di asrama, kegiatan belajar mengajar di sekolah pun penuh kedisiplinan. Saat jam pelajaran, hanya terdengar suara guru yang sedang memberikan pelajaran, dan semua murid menyimak dengan serius. Pengantar pelajarannya adalah bahasa Indonesia, tetapi kerap pula guru mengajar dengan memakai bahasa Sunda.

Meski sudah berlalu puluhan tahun, tapi H. Otong Soekarso (87) masih bisa mengingat nama-nama guru yang mengajarnya di SGB 1 Ciamis, tahun 1950-an. Saat itu Kepala SGB 1 Ciamis adalah Pak Gani Iskandar. Sedangkan guru-gurunya antara lain Pak Ahmad Dase, Pak Heryadi, Pak Harmaen, Ibu Gartimah, dan Ibu Asilah.

"Semuanya memiliki gaya mengajar yang tegas dan disiplin, tapi mampu menyampaikan pelajaran dengan baik. Dengan sendirinya para guru tersebut menjadi contoh, bagaimana cara mengajar yang baik, karena yang sekolah di SGB kan calon-calon guru SR," ujar H. Otong saat berbincang dengan kabar-priangan.com/ Harian Umum Kabar Priangan di rumahnya, di Kampung Jagamulya, Desa Rajadesa, Kecamatan Rajadesa, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, awal Februari 2023.

Baca Juga: Camilan Anyar dan Lagi Hits yang Antimainstream, Ini Dia CO, Cokelat Oncom Perkaya Kuliner Kota Tasikmalaya

Pada tahun 1954, siswa yang lulus masuk ke SGB 1 Ciamis berjumlah 120 murid dibagi menjadi empat kelas. Para murid ini datang dari berbagai daerah di Ciamis saat itu. Yang terjauh dari Pangandaran, Cijulang, dan Panawangan.

Seragam para murid putih-putih, dan pada Jumat dan Sabtu memakai pakaian Pramuka. Di kelas I dan II, anak laki-laki memakai celana pendek, dan di kelas III dan IV, baru bercelana panjang.
Untuk murid kelas empat, fokus pelajaran adalah pada ilmu keguruan.

Sementara untuk kelas satu sampai tiga, selain mata pelajaran yang terangkum dalam ilmu hitung (aljabar, ilmu ukur), lalu Bahasa Indonesia, Bahasa Sunda, juga pengetahuan umum (berupa ilmu hayat, ilmu alam, sejarah, dan ilmu bumi), serta ada pelajaran olahraga. Olahraga yang paling sering dilakukan oleh murid SGB 1 Ciamis saat itu adalah bola keranjang.

Untuk permainan lain, seperti senam massal dan sepak bola dilaksanakan di Lapangan Alun-alun Ciamis. Pada pelaksanaannya timbullah persoalan. Murid-murid SGB sering berebut lapangan dengan murid-murid SMP Ciamis. Saat itu, anak-anak SMP tersebut sering tak mau mengalah, dan "menguasai" lapangan alun-alun untuk kegiatan mereka berolahraga.

Baca Juga: Setelah Dikeluhkan Warga, Langsung Datangi Cintanagara, Bupati Ciamis: Renovasi Pustu Selesai Sebelum Lebaran!

 

Akhirnya, pihak SGB bersama masyarakat membangun lapangan yang kini menjadi Lapangan Lokasana. "Lahan yang dibuat lapangan itu dulu lokasi kuburan lama. Bapak lupa, apakah kuburannya dipindahkan atau tidak. Yang jelas dulu anak-anak SGB bersama warga bekerja bakti membuat lapangan itu, yang kini menjadi Lapangan Lokasana," ujar H. Otong.

Pada tahun 1958, Otong lulus dari SGB, dan langsung mendapat surat pengangkatan atau SK sebagai guru. Sebelum lulus, para murid SGB kelas III harus melakukan praktik mengajar, dan Otong mengajar di SR Bebedilan. Setelah lulus, ia hanya diberi waktu tiga bulan untuk beristirahat, dan langsung mendapat tugas untuk mengajar di SR Kawunglarang, Kecamatan Rancah.

Untuk menunaikan tugasnya, Otong setiap hari harus berjalan kaki dari Tigaherang ke Kawunglarang yang berjarak sekitar delapan kilometer. "Saat itu, lulusan SGB langsung diangkat, mendapat ikatan dinas dan mendapat tunjangan. Syaratnya lulus SGB harus menjadi guru minimal dua tahun. Tapi tak semua lulusan SGB yang seangkatan bapak menjadi guru. Ada juga yang berwiraswasta meneruskan usaha orang tuanya," kata H. Otong.

Pada tahun-tahun itu, nama SR sebenarnya sudah berubah menjadi Sekolah dasar (SD), tapi kebanyakan orang tua masih menyebutnya SR. Otong mengajar di SD Kawunglarang selama setahun, dan meminta dipindahkan ke SD Tigaherang, agar jaraknya lebih dekat dari rumah. Apalagi, saat itu gerombolan DI/TII masih ada dan banyak kejadian yang mencekam akibat dari perbuatan mereka.

Baca Juga: Ciamis Ingin Kembali ke Nama Galuh, Ini Dia Sejarahnya yang Penuh Intrik Perebutan Tahta dan Perang Saudara

Permohonannya dikabulkan oleh penilik dari dinas Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (PP dan K) Ciamis saat itu, hingga ia bisa mengajar di SD Tigaherang yang saat itu kepala sekolahnya adalah ayahnya sendiri.

Menjelang tahun 1960, suasana di Desa Tigaherang masih kerap terganggu dengan datangnya gerombolan pada malam hari. Mereka meminta sumbangan berupa beras, lauk pauk, dan lain-lain. Bahkan meminta alat tulis seperti buku dan pensil. Kelakuan gerombolan itu membuat warga terpaksa menyediakan barang-barang yang kerap diminta, agar jika mereka datang tidak membuat ulah. Hal ini tentu saja sangat menyusahkan.

Di tengah suasana seperti itu, keinginan Otong untuk meneruskan sekolah masih teramat besar. Cita-citanya adalah masuk ke Sekolah Guru A (SGA, kerap juga disebut Sekolah Guru Atas). Keinginannya tersebut didukung oleh orangtuanya. Otong pun mengajukan untuk pindah mengajar, dan kebetulan mendapat tugas untuk mengajar di SD Karikil, Kecamatan Kawalu, Kabupaten Tasikmalaya.

Saat itu SGA yang dekat hanya ada di Tasikmalaya, dan kepindahannya ke Kawalu menjadi berkah tersendiri bagi Otong. Tapi, justru di tempat itu, ia mendapat pengalaman mengerikan yakni melihat dua muridnya terbunuh gerombolan. (Bersambung)***

Editor: Arief Farihan Kamil

Tags

Terkini

Terpopuler