Sambil tetap mengajar, Otong kemudian mendaftar ke SGA dan diterima. Ia bersekolah di SGA pada siang hari sepulang mengajar.
Berbeda dengan sekolah di SGB yang mendapat subsidi pemerintah, bersekolah di SGA harus dengan biaya sendiri. Karena gaji guru saat itu tak seberapa, ia bertekad untuk bisa lulus SGA kurang dari tiga tahun. Lama sekolah di SGA memang tiga tahun, tapi pada tahun 1962, saat Otong di kelas dua ia ikut ujian kelulusan, dan lulus dengan nilai memuaskan. Pada saat itu, hal demikian bisa dilakukan.
Di SGA itu pula ia bertemu guru bernama Ahmad Bakri yang berasal dari Rancah, Ciamis, yang kelak dikenal sebagai salah satu pengarang Sunda tersohor. Ahmad Bakri mengajar ilmu Basa Sunda di SGA. "Pak Ahmad Bakri selalu mengajak ngobrol, memberi semangat," ujar H. Otong.
Keramahan Ahmad Bakri karena selain sifatnya memang demikian, juga karena ia kenal dekat dengan Pak Oegam Partadimadja, ayah Otong. Ahmad Bakri menyebut Pak Oegam dengan panggilan uwak.
Setelah lulus dari SGA di Tasikmalaya, Otong kemudian dipindahtugaskan untuk mengajar di SD 1 Rajadesa, Ciamis. Kepindahannya mengajar dari SD Nyantong ke SR 1 Rajadesa ini, sambil dibekali surat tugas dari penilik untuk mendirikan SMP di Rajadesa. Sebuah tantangan yang ia sanggupi, meski belum mendapat bayangan bagaimana caranya mendirikan SMP saat itu.
Baca Juga: Peziarah Asal Jakarta Ditemukan Meninggal di Gunung Tampomas Sumedang
Sambil mengajar di SD 1 Rajadesa, Otong kemudian mengumpulkan anak-anak yang berminat meneruskan sekolah ke SMP. Ia pun berkeliling menemui para orang tua murid yang anaknya bersekolah di kelas 6 SD tersebut, agar anak-anaknya diperbolehkan meneruskan sekolah.
Alhasil, pada tahun 1962, Otong mulai membentuk SMP di Rajadesa, dengan jumlah murid pertama sebanyak tujuh orang. SMP baru tersebut menumpang di SD 1 Rajadesa. Jam sekolahnya mulai siang hingga pukul lima sore. Saat itu guru SMP-nya baru Otong seorang.