Pengalaman Guru Sepuh di Ciamis, H. Otong Soekarso (Bagian 5): Mendapat Tugas Mendirikan SMP di Rajadesa

- 8 Maret 2023, 00:23 WIB
H Otong Soekarso, warga Kampung Jagamulya, Desa Rajadesa, Kecamatan Rajadesa, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.*
H Otong Soekarso, warga Kampung Jagamulya, Desa Rajadesa, Kecamatan Rajadesa, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.* /kabar-priangan.com/Dok. Pribadi /

KABAR PRIANGAN -  Mengajar di SD Nyantong, Kecamatan Tawang, Tasikmalaya, dijadikan kesempatan oleh Otong Soekarso untuk melanjutkan sekolah ke SGA (Sekolah Guru A, kerap disebut pula Sekolah Guru Atas) yang berlokasi di Dadaha (kini menjadi lokasi UPI Kampus Tasikmalaya).

Otong Soekarso saat itu kos di belakang RSU Tasikmalaya. Setiap hari dari Jalan Rumah Sakit ia menyusuri pinggir Sungai Cimulu saat berangkat atau pulang mengajar. "Di belakang RSU dulu ada kolam besar, nah dulu bapak kos di rumah dekat kolam itu," ujarnya mengenang, saat berbincang dengan Kabar Priangan.com/ Harian Umum Kabar Priangan di rumahnya, Kampung Jagamulya, Desa Rajadesa, Kecamatan Rajadesa, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, awal Februari 2023

Di SD Nyantong kebanyakan yang sekolah adalah anak-anak tentara. Ada yang unik saat Otong mengajar di sana yakni setiap hari mendapat bingkisan sebungkus rokok merk CIAD (Cigaret Angkatan Darat) dari murid-muridnya. Rokok tersebut disimpan di atas meja guru. "Saat mengajar di Nyantong itu bapak mulai merokok karena setiap hari anak-anak memberi rokok," ujar Otong Soekarso sambil tertawa.

Baca Juga: Hasil Akhir Timnas Indonesia U 20 Vs Uzbekistan, Garuda Nusantara Pulang Lebih Awal, Ini Klasemen Akhir Grup A

Murid-muridnya yang tinggal di asrama tentara itu kerap pula mengajak Otong untuk ngaliwet atau botram di rumah mereka. Tapi, ujar Otong, ia tak pernah menuruti ajakan tersebut untuk menghindari syak wasangka orang lain.

"Untuk menghindari fitnah. Karena di asrama itu hanya ada istri-istri tentara, sedangkan suami-suaminya kan sedang bertugas. Jadi ajakan anak-anak itu selalu bapak tolak," kata H. Otong.

Saat mengajar di SD Nyantong, Otong pernah ikut latihan kemiliteran di Dadaha dan Cibeureum hingga mendapat ijazah dengan nilai baik untuk menembak dan baris berbaris. Saat itu ia berkesempatan menjadi tentara, tapi tak diambilnya karena tak ada yang menggoyahkan cita-citanya sejak semula, menjadi guru. "Sempat punya surat izin untuk memiliki senjata api, tapi tak pernah digunakan," ujarnya.

Sambil tetap mengajar, Otong kemudian mendaftar ke SGA dan diterima. Ia bersekolah di SGA pada siang hari sepulang mengajar.

Baca Juga: Reaksi Atas Hasil Survei Cawalkot Banjar Meluas. Gerindra: Lembaga Pendidikan Jangan Terjebak Politik Praktis

Berbeda dengan sekolah di SGB yang mendapat subsidi pemerintah, bersekolah di SGA harus dengan biaya sendiri. Karena gaji guru saat itu tak seberapa, ia bertekad untuk bisa lulus SGA kurang dari tiga tahun. Lama sekolah di SGA memang tiga tahun, tapi pada tahun 1962, saat Otong di kelas dua ia ikut ujian kelulusan, dan lulus dengan nilai memuaskan. Pada saat itu, hal demikian bisa dilakukan.

Di SGA itu pula ia bertemu guru bernama Ahmad Bakri yang berasal dari Rancah, Ciamis, yang kelak dikenal sebagai salah satu pengarang Sunda tersohor. Ahmad Bakri mengajar ilmu Basa Sunda di SGA. "Pak Ahmad Bakri selalu mengajak ngobrol, memberi semangat," ujar H. Otong.

Keramahan Ahmad Bakri karena selain sifatnya memang demikian, juga karena ia kenal dekat dengan Pak Oegam Partadimadja, ayah Otong. Ahmad Bakri menyebut Pak Oegam dengan panggilan uwak.

Setelah lulus dari SGA di Tasikmalaya, Otong kemudian dipindahtugaskan untuk mengajar di SD 1 Rajadesa, Ciamis. Kepindahannya mengajar dari SD Nyantong ke SR 1 Rajadesa ini, sambil dibekali surat tugas dari penilik untuk mendirikan SMP di Rajadesa. Sebuah tantangan yang ia sanggupi, meski belum mendapat bayangan bagaimana caranya mendirikan SMP saat itu.

Baca Juga: Peziarah Asal Jakarta Ditemukan Meninggal di Gunung Tampomas Sumedang

Sambil mengajar di SD 1 Rajadesa, Otong kemudian mengumpulkan anak-anak yang berminat meneruskan sekolah ke SMP. Ia pun berkeliling menemui para orang tua murid yang anaknya bersekolah di kelas 6 SD tersebut, agar anak-anaknya diperbolehkan meneruskan sekolah.

Alhasil, pada tahun 1962, Otong mulai membentuk SMP di Rajadesa, dengan jumlah murid pertama sebanyak tujuh orang. SMP baru tersebut menumpang di SD 1 Rajadesa. Jam sekolahnya mulai siang hingga pukul lima sore. Saat itu guru SMP-nya baru Otong seorang.

SD 1 Rajadesa (sebelumnya SR Rajadesa) ini adalah sekolah pertama di Rajadesa, yang didirikan tahun 1908. Menurut Otong, bangunan pertamanya dibuat dari bambu dan kayu, yang pada zaman Belanda sempat dibakar oleh tentara agar tak dikuasai penjajah. Bangunannya saat itu sempat dipakai untuk asrama tentara. Kemudian pada tahun 1950-an, juga sempat dibakar oleh gerombolan DI/TII.

Di bangunan sekolah itulah Otong mengajar seharian di SD dan SMP hingga sore hari. Ia kerap tidur di sekolah, jarang pulang ke Tigaherang karena jaraknya cukup jauh, 10 kilometer.
"Karena kalau pulang pergi tiap hari Rajadesa-Tigaherang ya cape. Jadi bapak sering tidur di kantor. Apalagi harus mempersiapkan administrasi pendirian SMP," ujar H. Otong.

Baca Juga: Subsidi Motor Listrik Siap Disalurkan Bulan Ini, Simak Syarat Pengajuannya di Sini!

Pada tahun 1963, jumlah murid SMP bertambah banyak. Otong pun berangkat ke Bandung, menemui Inspektur SMP di Jalan Banda, Bandung. Ia melaporkan perkembangan SMP yang didirikannya, dan meminta pemerintah untuk meresmikan sekolah baru tersebut.

Hal itu melahirkan tantangan baru. Inspektur SMP memberi syarat yakni harus ada lokasi
yang permanen, terdiri dari enam ruang kelas, satu ruang untuk laboratorium, juga lokasinya harus dekat ke lapang dan masjid. "Mendengar syarat dari Pak Inspektur itu, bapak hanya bilang siap, lalu pulang lagi ke Rajadesa," ujar H. Otong.

Sesampainya di Rajadesa, Otong lalu menemui Kepala Desa Rajadesa, seorang pensiunan tentara yang ternyata sangat berharap di Rajadesa ada SMP. Jadi Kepala Desa tersebut sangat mendukung pendirian SMP baru ini.

Lokasi sekolah yang saat itu sesuai dengan syarat dari Inspektur SMP adalah bangunan SD 2 dan SD 3 Rajadesa. Kedua sekolah ini berada dalam satu lokasi yang dekat dengan tanah lapang. Maka atas bantuan kepala desa dan masyarakat, SD 2 dan SD 3 kemudian dipindahkan ke lokasi lain, sementara di lokasi tersebut berdiri SMP Rajadesa, yang kini menjadi SMP Negeri 1 Rajadesa. (Bersambung)***



 

 

Editor: Arief Farihan Kamil


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x