Profil Penerima Anugerah Budaya Kota Tasikmalaya 2021 Bambang Arayana Sambas, Sanggar Epos Eksis Sejak 1977

21 November 2021, 19:03 WIB
Bambang Arayana Sambas, Penerima Anugerah Seni Budaya Kota Tasikmalaya 2021.* /kabar-priangan.com/Dok. DKKT

BAMBANG Arayana Sambas menerima penghargaan Anugerah Budaya Kota Tasikmalaya 2021, selain Hj. Momoh Patimah. Bambang mulai berkiprah di dunia teater pada tahun 1977 di Tasikmalaya. Saat itu, muncul sebuah kelompok kesenian yang dihuni para remaja.

Mayoritas adalah para alumni SMAN 1 Tasikmalaya dan SMA Pancasila, meski banyak pula yang masih bersekolah di tingkat SMA dan SMP. Namanya Sanggar Epos atau kadang ada yang menyebut Teater Epos.

Disadur dari booklet Seni Budaya Sunda, sanggar ini dibentuk oleh Bambang Arayana Sambas, seorang seniman muda yang pada tahun 1977 kembali ke Tasikmalaya setelah bertahun-tahun bekerja di perhotelan di Bandung dan Jakarta.

Baca Juga: Bambang Arayana dan Momoh Patimah Raih Anugerah Budaya Kota Tasikmalaya 2021

Tak kurang dari seratus orang yang rutin hadir setiap sanggar ini menggelar latihan. Sebuah jumlah yang yang menandakan bahwa minat kaum muda di Tasikmalaya saat itu untuk berkesenian cukup besar.

Mereka berlatih tari, teater, musik, puisi, sesuai dengan ketertarikan masing-masing. Latihan rutin digelar setiap hari Minggu di sebuah gedung milik Dinas Pendidikan dan kebudayaan, di samping Hotel Tugu, Jalan Selakaso.

Gedung bekas markas Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) di masa perjuangan itu, juga kerap digunakan untuk acara-acara yang digelar masyarakat, jika demikian, maka Sanggar Epos berlatih di tempat lain.

Baca Juga: Kupon Ditukar 2,5 Kg Beras dan 10 Butir Telur, Peserta Membludak Seribu Dosis Vaksin Habis

Untuk tempat latihan ini, Sanggar Epos kerap difasilitasi oleh orangtua anggota. Misalnya, ada orang tua anggota yang menjadi pengurus Persitas, hingga Epos mendapat izin untuk menggelar latihan di depan ruang karcis stadion Dadaha.

Beberapa kali berlatih di Cikoneng, Ciamis, atas permintaan orangtua salah satu anggota, dan awak Sanggar Epos beramai-ramai naik daplet (kuda oplet, sejenis sado) ke sana.

Kadang latihan digelar di Situ Gede yang ditempuh dengan berjalan kaki, atau di lapang basket SMAN 1 Tasikmalaya. Di mana saja, yang penting latihan.

Baca Juga: Ranperda Kepariwisataan Segera Jadi Perda, Potensi Pariwisata Kabupaten Tasikmalaya Bakal Lebih Fokus Tergali

Sementara tempat latihan rutin di Jalan Selakaso, itu semacam “privilese” yang diberikan oleh Soejono, seorang pejabat Dikbud yang intens membantu Sanggar Epos.

Sujono juga yang mendorong Epos agar secara resmi mendapat nomor induk dari Dikbud, dan menyeponsori Epos mengikuti Festival Teater 1979 tingkat Jawa Barat di Rumentang Siang, Bandung.

Epos yang saat itu ditunjuk untuk mewakili Kabupaten Tasikmalaya, menggarap naskah “Pagi Bening” (terjemahan Sapardi Djoko Damono dari naskah karya Serafin dan Joaquin Alvarez Quintaro) yang disutradarai Bambang Arayana Sambas, berhasil meraih gelar Juara Inovatif.

Baca Juga: Tertabrak Elf Bandung-Cirebon, Dua Pengendara Tewas di Tanjungsari Sumedang

Sanggar Epos atau Teater Epos, memang terikat erat dengan nama Bambang Arayana Sambas. Dialah yang mendirikan sanggar ini, memimpin latihan dan menyutradarai setiap pentas Epos, sambil aktif di Daya Mahasiswa Sunda (Damas) Tasikmalaya.

Setelah lulus dari SMAN 1 Tasikmalaya tahun 1971, Bambang menempuh pendidikan di Akademi Perhotelan Nasional di Bandung, lalu bekerja di perhotelan di Bandung dan Jakarta hingga tahun 1977.

Pada periode tersebut, Bambang intens bergabung dengan Teater ATPU yang kemudian bernama Teater Khas di Bandung.

Baca Juga: Hj. Tina Wiryawati Minta Ada Exit Tol Batikcap di Kota Banjar

Saat tahun 1977 ia pulang ke Tasikmalaya, kerap meriung dengan kaum muda lainnya yang saat itu tengah gandrung membaca puisi. Dari riungan itulah tercetus pendirian Sanggar Epos.

Di Tasikmalaya, Bambang membuka kios Roti Bakar Clinic di trotoar Jalan dr. Soekardjo pada malam hari. Setelah Sanggar Epos berdiri, roti bakar ini menjadi salah satu penopang keuangan sanggar jika akan menggelar pementasan.

Roti Bakar Clinic yang memiliki suluk “Dari Frustrasi ke Prestasi” ini menjadi tempat nongkrong anak-anak muda gaul Kota Tasikmalaya masa itu.

Baca Juga: Wabup Sumedang Bersama SVECI Kenalkan Alam Sumedang dengan Off Road

Selain ini adalah kios pertama yang menjual roti bakar, juga di situ banyak mojang anggota Sanggar Epos yang membantu Bambang jualan roti, hingga banyak pemuda yang betah nongkrong lama-lama.

Saat menghadapi pementasan, intensitas latihan menjadi saban hari, Bambang dengan bersepeda sepulang latihan lalu ke toko-toko roti untuk belanja sambil membawa ransel besar, lalu ke Jalan Soekardjo untuk berdagang.

Kebiasaan Bambang bersepeda itu juga menimbulkan tren di kalangan anggota sanggar, yang kemudian menjadi kebiasaan mereka ke mana-mana memakai sepeda ala Bambang.

Baca Juga: Cegah Penyakit Jantung dan Asam Urat dengan Bumbu Dapur. Begini Penjelasan dr Zaidul Akbar

Sanggar Epos pernah melakukan pementasan di beberapa tempat. Antara lain di Aula Koperasi SPB di Jalan Kalektoran, di lapang basket SMAN 1 Tasikmalaya, juga di Bioskop Garuda, Jl. dr. Soekardjo.

Pada setiap pementasan, Epos tidak menerapkan sistem tiket, penonton cukup mengisi kencleng yang diedarkan anggota Epos sebelum pementasan.

Kecuali di Bioskop Garuda, para penonton juga sudah paham, jika akan menonton pentas Epos mereka selalu membawa koran untuk alas duduk, karena tak ada kursi.

Baca Juga: Hujan Deras Guyur Sirkuit Mandalika, Dominique Aegerter Malah Asik Senang Ujan-ujanan

Pentas “Blong Merah Putih” naskah Putu Wijaya di akhir 1980-an, mungkin tercatat sebagai pentas terakhir Sanggar Epos. Pementasan digelar di Bioskop Garuda dan disesaki penonton.

Saat itu, Bambang harus bolak-balik Bandung-Tasikmalaya untuk menyutradarai pementasan ini, karena ia sendiri sudah hijrah ke Bandung untuk kuliah di jurusan teater ASTI (sekarang ISBI) Bandung.

Meski hanya dalam kurun waktu yang tak terlalu panjang, kehadiran Sanggar Epos telah menggairahkan iklim berkesenian di Tasikmalaya.

Baca Juga: Innalillahi Waina Ilaihi Roji’un. Verawaty Fadjrin Meninggal Dunia. Ini Pertemuan Terakhir dengan Erick Thohir

Anggotanya kelak tersebar dalam berbagai profesi, ada yang menjadi diplomat, duta besar, pejabat pemerintahan, menjadi jurnalis, perwira di kepolisian, jadi dosen, dan lain-lain.

Tapi mereka terus terikat erat dengan sanggar ini, dan rata-rata dari mereka memiliki perhatian lebih pada dunia kesenian dan kebudayaan; sesuatu yang terpantik di kehangatan proses saat bersama Sanggar Epos.

Bambang sendiri kemudian aktif di Studiklub Teater Bandung (STB) pimpinan Suyatna Anirun, dosennya saat di ASTI. 

Baca Juga: Kader Posyandu Bageur Sunda Sukalaksana Gelar Posyandu Remaja untuk Generasi Milenial Sehat

Selepas dari ASTI ia berkecimpung di duna kesenian di Bandung, dan oleh Nano S ia ditarik untuk menjadi pengajar di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Bandung, hingga diangkat menjadi PNS tahun 1988 dan pensiun tahun 2014.

Selain menyerap ilmu di ASTI, Bambang pun berkesempatan mengikuti Program Master Teacher, Hawtorn Institute of Education, Melbourne University Australia, dan di Theatre & Stage Technology, Victoria College of The Art (VCA) Melbourne Australia.

Aktivitasnya selain mengajar adalah sebagai penulis naskah dan sutradara berbagai seni pertunjukan. Bambang juga terlibat dalam lebih dari 10 pentas drama garapan STB, lalu dalam serial sinetron Sunda “Inohong di Bojong Rangkong” garapan RAF d TVRI Bandung akhir 1980-an.

Baca Juga: Deteksi Dini HIV/AIDS, Puskesmas Sukalaksana dan Tim KPA Kota Tasik Rangkul Komunitas Kunci dengan Mobile VCT

Selain itu, kiprahnya juga sangat banyak di bidang seni budaya, antara lain Dewan Kurator Taman Budaya Jawa Barat, Kurator Anjungan Jawa Barat Taman Mini Indonesia Indah Jakarta, dan Konsultan Seni Budaya Objek Wisata Budaya Internasional “Saung Angklung Udjo” Bandung.

Ia juga Ketua Gentala Arts Community Bandung, menjadi salah satu admin di grup Fiksimini Basa Sunda (FBS), serta kiprah lainnya.

Bambang Arayana Sambas lahir di Tasikmalaya, 24 Januari 1953. Ia berasal dari keluarga yang juga berkecimpung di dunia kesenian. Ayahnya R. Sambas Noeriadikarta, lama menjabat sebagai Kepala Dinas Pariwisata Daerah (Diparda) Kabupaten Tasikmalaya yang juga seorang seniman.

Baca Juga: Dirjen Kemendikbud: Praja IPDN Harus Berpartisipasi Memajukan Kebudayaan

R. Sambas menyutradarai beberapa pentas gending karesmen, menggarap naskah drama “Dakwaan” karya RAF, ikut terlibat dalam gending karesmen “Galunggung Ngadeg Tumenggung” garapan Wahyu Wibisaya, dan lainnya.

Sedangkan kakeknya dari pihak ibu, R. Saleh, adalah juara tembang Sunda zaman Belanda yang pernah mendapat bintang emas. Lalu kakek dari pihak bapak, R. Entjung Noeriadikarta, yang pernah menjadi Camat Singaparna dan Cigalontang, adalah seorang penari ibing tayub yang sangat terkenal di Tasikmalaya.

H. Undang Hendiana, salah seorang anggota Sanggar Epos di masa mudanya, mengatakan bahwa Bambang Arayana Sambas adalah seorang yang disiplin dalam melatih dan punya prinsip yang kuat dalam berkesenian.

Baca Juga: Memiliki Trek Indah, Michael Rinaldi Sampaikan Terima Kasih kepada Jokowi atas Pembangunan Sirkuit Mandalika

“Selain itu, Kang Bambang juga kerap mentransformasikan ilmunya dalam berbagai kegiatan di Tasikmalaya, bahkan hingga saat ini,” ujar Undang yang kini menjabat sebagai Asda 1 Bidang Kesra Kota Tasikmalaya.

Sementara itu, Soni Farid Maulana, penyair yang juga sempat nyantri di Sanggar Epos saat ia masih SMA, mengatakan, Bambang tidak hanya dikenal sebagai sutradara teater yang ahli dalam bidangnya, tetapi juga sebagai penulis lakon yang sangat peduli terhadap kearifan lokal.

Misalnya dalam Ciung Wanara, salah satu naskah yang ditulis dan disutradarainya. (dari Booklet Anugerah Seni Budaya Kota Tasikmalaya 2021)*

Editor: Arief Farihan Kamil

Tags

Terkini

Terpopuler