Akibat berbagai tindakan represif dan tidak terukurnya penggunaan diskresi yang kerap kali terjadi.
"Oleh karena itu, melalui metode yuridis normatif, semoga dan harapan saya, ini akan menelisik bagaimana sejatinya negara menjamin akses dan keamanan atas seluruh bentuk penyampaian aspirasi masyarakat," katanya.
Baca Juga: Bulan Ramadan, Polisi Buka Layanan Vaksinasi Gratis di 10 Titik Keramaian Kota Garut
Termasuk, lanjut Givan, dalam hal kebebasan memberikan pendapat di muka umum, serta menganalisis bagaimana seharusnya wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap penanganan unjuk rasa dilaksanakan.
Padahal justru dalam Pekapolri No 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum
Pasal 28, Huruf a.
Yaitu dalam melakukan upaya dan tindakan, aparat harus menghindari tindakan-tindakan yang spontanitas dan emosional berupa pengejaran, membalas tindakan, menangkap dengan tindakan kekerasan dan menghujat.
Baca Juga: Santri Priangan Alumni Lirboyo akan Gelar Seminar Guar Budaya di Sumedang
Huruf e, “Aparat dilarang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM”
Huruf f, “Aparat dilarang melakukan tindakan yang melangar undang-undang dan itu sangat jelas sekali.
"Begitulah, saya tidak yakin kemauan pemerintah untuk melepas kepolisian karena kepolisian sangat istimewa perannya dalam politik," katanya.
Lanjut Givan, sebagaimana ketika era reformasi dwifungsi ABRI dipangkas, Polri jadi alat yang penting dimainkan di ranah politik.