“Beliau itu semasa mudanya menyenangi sepak bola. Jadi, tanah tersebut dijadikan lapangan sepakbota,” kata Andi.
Seiring dengan berjalannya waktu, kata dia, tanah lapang itu tak hanya digunakan untuk sepakbola saja, tetapi digunakan juga untuk kegiatan-kegiatan masyarakat.
“Sampai akhirnya di sekitar tahun 1970-an, pihak kecamatan berniat untuk membeli lahan itu. Menurut pengakuan pihak keluarga, kala itu pihak kecamataan seolah-olah memaksa untuk membeli lahan itu,” kata dia.
Namun anehnya, lanjut Andi, walaupun pihak kecamatan seolah setengah memaksa untuk membeli lahan tersebut, tetapi tidak memberikan uang pengganti sepeser pun.
“Tak terima dengan perlakuan itu, H, Juhari sebagai pemilik lahan sempat menjadikan tanah lapang itu sebagai tanah garapan, dijadikan kebun,” kata dia.
Namun beberapa waktu kemudian, kata dia, H. Juhari meninggal dunia dan seiring dengan berjalannya waktu, di atas tanah milik H. Juhari almarhum itu kemudian didirikan bangunan kantor Koramil dan lainnya.
Bahkan di tahun 1990, papar dia, tiba-tiba muncul Nomor Objek Pajak (NOP) yang memecah lahak milik H. Juhari tersebut menjadi empat bidang yang terdiri dari tanah lapang, bangunan koramil, SMPN 12 dan PGRI.
“Sejak itu, jejak kepemilikan atas nama H. Juhari pun akhirnya hilang,” katanya.