Ngobrol Santai dengan Agus AW, Angklung Sered Balandongan Tasikmalaya dan Pendidikan Karakter

- 18 Januari 2023, 22:25 WIB
Kesenian angklung sered balandongan yang dimainkan para pelajar dan pemuda dalam sebuah acara di UPI Bandung beberapa waktu lalu.*
Kesenian angklung sered balandongan yang dimainkan para pelajar dan pemuda dalam sebuah acara di UPI Bandung beberapa waktu lalu.* /Tangkapan layar video/Dok. Agus AW /

KABAR PRIANGAN - Salah satu kesenian dari Tasikmalaya yang diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia adalah angklung sered. Jenis kesenian ini berasal dari Kampung Balandongan Desa Sukaluyu Kecamatan Mangunreja Kabupaten Tasikmalaya.

Karena pertama munculnya di kampung tersebut, maka kesenian ini pun dinamakan angklung sered balandongan.

Menurut seniman yang juga penggerak kesenian ini, Agus Ahmad Wakih (56), kesenian angklung sered telah ada di Kampung Balandongan sejak tahun 1901.

Baca Juga: Maling 'Santuy' di Tasikmalaya, Sempat-sempatnya Makan dan Minum Saat Beraksi di Rumah Korban, Eh Apes Juga

Pada mulanya, waditra angklung dipakai sebagai tangara (penanda, kode) jika ada bahaya yang mengancam Kampung Balandongan. Salah satunya jika ada tentara Belanda. "Pada zaman itu, siku angklung dibuat agak lebih panjang dan ujungnya runcing, hingga berfungsi juga sebagai senjata," ujar Agus AW, sapaan akrabnya, saat berbincang dengan kabar-priangan.com/ Harian Umum Kabar Priangan, Rabu 18 Januari 2023.

Dengan demikian, lanjutnya, angklung juga tampil sebagai simbol perlawanan masyarakat kampung terhadap penjajah yang suka semena-mena mengambil rempah-rempah hasil pertanian rakyat setempat, seperti kapol, cengkih, rinu, dan lainnya. Selain itu, angklung juga hadir sebagai alat untuk mengekspresikan jiwa seni mereka, meski masih sebatas untuk kelangenan.

Menurut Agus, Bupati Sukapura Raden Tumenggung Prawirahadingrat (1901-1908) sangat menyenangi kesenian angklung di Kampung Balandongan ini, hal ini rupanya menurun pada putranya yang menggantikannya sebagai bupati, yakni R.A.A. Wiratanuningrat (1908-1937).

Baca Juga: Tak Puas Putusan Hakim Tipikor Bandung, JPU Perkara Smart City Diskominfo Kota Tasikmalaya Resmi Banding

"Bupati Wiratanuningrat jika datang ke Balandongan selalu ingin dihibur oleh kesenian ini. Bahkan kampung yang saat itu masih jadi bagian dari daerah Sukasukur tersebut diberi nama Balandongan oleh Wiratanuningrat," ujar Agus yang saat ini masih tercatat sebagai guru di SMAN 1 Singaparna.

Wiratanuningrat juga yang kemudian memberi nama angklung adu pada kesenian ini, sekitar tahun 1908. "Kenapa dinamakan angklung adu, karena dahulu kesenian ini juga menjadi ajang adu kekuatan fisik. Jadi ada dua pihak yang bertanding sambil memainkan angklung di lapangan. Mereka saling dorong dengan pundak, betis, lengan, dan tangan, istilahnya jogol munding," ujar Agus.

Tak hanya beradu fisik, para pemain juga memakai ilmu kebatinan untuk memenangkan pertandingan tersebut. Demikian juga jurus-jurus yang dipakai, sangat beragam, seperti jurus hayam apung, belut putih, paleredan, dan cimande.

Baca Juga: Brigade Taliban dan Aktivis Masyarakat Muslim Tasikmalaya Unjuk Rasa di Bale Kota, Ini Tuntutannya

Karena tampilannya yang unik, maka kesenian angklung dari Balandongan ini berbeda dengan kesenian angklung yang ada di daerah lain. Menurut Agus, angklung sered bahkan tidak memiliki surupan (tangga nada) seperti waditra lain.

"Menurut empu angklung yakni Aki Ejen, surupan angklung sered itu disebut Nada Rasa. Tak punya tingkatan nada seperti pelog, salendro, atau madenda," ucapnya menambahkan.

Cara mainnya ya menurut rasa pemainnya saja. Karena itu angklung sered itu tak bisa dipakai untuk bernyanyi, hanya untuk berlaga alias adu kekuatan saja. "Hingga beberapa tahun lamanya kesenian ini bernama angklung adu. Baru sekitar tahun 1950, seorang empu angklung dari Balandongan yang bernama Bah Sa'in, mengubah namanya menjadi angklung sered balandongan," kata seniman jebolan STSI (sekarang ISBI) Bandung ini.

Baca Juga: Dua Terdakwa Kasus Korupsi Proyek Jalan di Sumedang Divonis 1 Tahun 6 Bulan Penjara

Pascakemerdekaan, bentuk angklung di Balandongan juga berubah, tak ada lagi bagian yang runcing. Demikian juga bentuk pergelarannya, kini menjadi semacam entertainment yang tak lagi dipengaruhi unsur-unsur magis atau kebatinan, meski tentu saja adegan saling dorong, saling sered, beradu fisik, tetap ada. Bahkan pada perkembangan berikutnya, kesenian ini juga dilengkapi dengan waditra pengiring selain angklung, juga dengan tarian.

Keberadaan angklung sered balandongan ini, tahun 1950-an, diakui oleh Penilik Kebudayaan Kewedanaan Singaparna saat itu yakni Didi Gunawan, sebagai kesenian khas yang harus dilestarikan.

Maka, lanjut Agus, ada upaya untuk mengembangkan kesenian ini di luar Balandongan, seperti di Desa Cihandeuleum dan Desa Sukasukur Mangunreja, serta di Kampung Naga Salawu, sempat ada grup kesenian angklung sered, hanya saja tidak berkembang. "Ya, karena para jawara angklung serednya ada di Balandongan semua, seperti Aki Mas'ud, Aki Mahyar, Abah Aja, dan lainnya," ujar Agus AW.

Baca Juga: Pegiat Sachitas di Tasikmalaya Budidayakan Kacang Hutan Amazon, Pasarnya Menggiurkan Siap Jalin Kerja Sama

Ia sendiri mulai fokus mengembangkan angklung sered balandongan sejak tahun 1995. Agus berupaya mengembangkan kesenian ini di lingkungan sekolah sebagai ekstrakurikuler, seperti di MAN Cipasung, MAN Sukamanah, dan SMA Cipasung. Juga di SDN Balandongan, SMPN Satap Mangunreja, SD Muhammad Toha, SDN Cintaraja 2, SMPN Sukarame, SMAN 1 Singaparna, semua di Kabupaten Tasikmalaya.

"Selain di sekolah-sekolah tadi, saya juga berupaya ke sekolah lain, tapi malah ada yang menyangka saya mau jualan angklung," ujar pemilik kumis tebal ini sambil tertawa.

Saat ini, ekstrakurikuler ini masih ada di beberapa sekolah, antara lain di SMAN 1 Singaparna tempat Agus mengajar. Selain itu, setelah ia menjadi dosen Seni Budaya dan Kearifan Lokal di Universitas Perjuangan (Unper) Tasikmalaya, Agus juga mengembangkan kesenian angklung sered balandongan di kampus tersebut.

Baca Juga: Peluang Pilkada di Sumedang Masih Terbuka, Pakar Politik Unpad Sebut Petahana Potensial Maju

"Alhamdulillah sangat diapresiasi dan mendapat sambutan sangat baik dari pihak kampus. Rektor Unper, Pak Prof Yus Darusman bahkan meminta angklung sered jadi icon Tasikmalaya, yang sekarang dilestarikan di kampus Unper. Alasannya karena kesenian ini berhubungan dengan perjuangan, simbol perlawanan," ujarnya.

Seniman angklung sered balandongan Agus AW.*
Seniman angklung sered balandongan Agus AW.*

Tak hanya bergerak pada pengembangan dan upaya regenerasi kesenian ini, Agus pun menjadikan kesenian angklung sered balandongan sebagai bahan penelitian untuk disertasinya di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dengan judul "Angklung Sered Balandongan sebagai Pendidikan Karakter Menuju Desa Wisata Budaya". 

Rencananya, menurut Agus, Desa Sukaluyu --di mana Kampung Balandongan berada, akan diresmikan sebagai Desa Wisata Budaya pada Februari 2023.

Baca Juga: Hadiah Juara Moka Ciamis Rp1 Juta Bupati Merasa Dipermalukan, Kadis Hanya Duduk Manis Posisinya Dievaluasi

Tema disertasi yang tengah digarapnya ini, jadi semacam ekspresi kegelisahannya melihat semakin merosotnya akhlak dan karakter anak-anak muda, terutama di kalangan pelajar saat ini.

"Memang tidak semua, tapi sebagai guru saya melihat dan membaca di berbagai media, anak-anak sekarang banyak yang seperti itu. Mereka kehilangan rasa hormat kepada sesama, kepada saudara, kepada guru, bahkan kepada orang tua. Saya mencari penyebabnya, dan menemukan, antara lain mereka kekurangan ruang untuk berekspresi," ujar Agus.

Hilangnya ruang ekspresi ini membuat mereka tak mampu menyalurkan potensi. Apalagi kondisi sekarang tampak hanya membentuk anak-anak muda sebagai konsumen. Mereka terikat dengan teknologi, tapi hanya sebagai konsumen. Demikian juga di dunia kesenian populer, mayoritas hanya sebagai penonton.

Baca Juga: Ceng Munir Prihatin Pemilik Ribuan Botol Miras di Garut tidak Ditahan

"Dulu, yang namanya samenan di sekolah itu adalah ruang ekspresi anak-anak. Mereka bergiliran tampil. Sekarang kebanyakan malah mengundang grup band dari luar, adu gengsi, jadinya ya, ruang ekspresi itu semakin menyempit," ujarnya.

Karena itu, kata Agus, angklung sered ini bisa menjadi ruang ekspresi mereka, mungkin semacam ruang katarsis. Hal ini ia temukan setelah mencermati perkembangan anak-anak muridnya yang terlibat dalam ekstrakurikuler angklung sered.

"Apalagi dalam angklung sered ini terkandung berbagai ekspresi kesenian, dari mulai musik, tari, adegan teaterikal, bahkan seni rupa dan yang lainnya. Pagelarannya juga semi kolosal. Jadi, sangat bagus untuk media pendidikan karakter anak-anak," ujarnya mengakhiri.*

 

 



 

 

Editor: Arief Farihan Kamil


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x