Kemudian mereka melakukan pertemuan pada 10-11 Pebruari 1948 di Desa Pangwedusan distrik Cisayong dihadiri pemimpin-pemimpin Hizbullah, Gearakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), dan Sabilillah.
Sejak itulah TII berjuang keras menahan kehadiran tentara Belanda yang akan menguasai Jawa Barat. Pergerakan perjuangan TII dengan tentara Belanda pun akhirnya tak terelakkan.
Insiden penting terjadi setelah itu 25 Januari 1949 di Antralina dekat Malangbong Garut. Inilah pertama kali peperangan segitiga terjadi antara TNI Siliwangi, DI/TII, dan Tentara Belanda.
Situasi di Jawa barat semakin rumit karena empat kekuatan militer antara TII, TNI, KNIL, dan militer Pasundan saling bertempur. Akhirnya KNIL Belanda undur diri dari pertempuran setelah adanya persetujuan Roem Royen. Sedangkan militer Pasundan bergabung dengan TNI.
Ketika PDRI dan TNI kemudian menerima Roem Royen, Kartosoewiryo tetap menolaknya dan mendorong diproklamasikannya NII pada 7 Agustus 1949 di Desa Cisampang-Cigayong, Garut Jawa Barat. NII juga dikenal dengan sebutan DI yang kemudian disingkat DI/TII.
Selain karena rasa kecewa terhadap negara yang dinilai semakin sekuler, Kartosoewiryo merasa kecewa dengan Perjanjian Renville karena Soekarno terlalu tunduk pada Belanda.
Baca Juga: Gudang Rongsokan di Kelurahan Situ Sumedang Ludes Terbakar
Inilah cikal bakal Kartosuwiryo kemudian dicari oleh pemerintah kala itu, ia bersama pengikutnya bergerilya siang dan malam dengan persenjataan seadanya, sangat sulit menangkap pergerakan Kartosuwiryo.
Ia begitu lihai dan amat sangat bisa membaca medan, di mana Antralina adalah sebuah pegunungan yang Kartosuwiryo dan pasukannya berhasil berpindah dari satu titik ke titik lain menghindari TNI kala itu.