KABAR PRIANGAN - Mahfud MD menyampaikan permohonan berhenti dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) langsung kepada Presiden Widodo (Jokowi) disertai surat yang diserahkan di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis 1 Februari 2024 Pukul 16.30 WIB. Selain selembar surat yang isinya hanya tiga paragraf tersebut, ia juga menyampaikan substansi urusan Kemenko Polhukam yang sekarang sedang berjalan.
Menurut Mahfud, setelah dirinya meninggalkan jabatannya, hal yang rutin-rutin berjalan dikendalikan oleh tujuh kedeputian yang sekarang masih aktif terus bekerja. Semuanya di bawah koordinasi teknis Sesmenko Letjen Pudjo Rumokso. "Nah, semuanya berjalan baik," ujar Mahfud saat memberikan keterangan pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis 1 Februari 2024 malam.
Masalah utang para pengemplang BLBI
Namun, lanjut Mahfud, dirinya menyampaikan tiga hal yang ia beri catatan. Hal-hal tersebut perlu dilanjutkan karena ada inpres dari presiden sendiri. Pertama, tentang utang BLBI. "Saya katakan bapak pernah memberi inpres kepada kami untuk mulai menagih utang-utang tunggakan BLBI, waktu itu jumlahnya Rp111 triliun. Dalam satu setengah tahun kami bekerja sekarang ini sudah terkumpul tagihan yang sudah ada di tangan kami sebesar Rp35,7 triliun yang kalau dihitung dalam prosentasi 31,8 persen," ujar Mahfud.
https://www.youtube.com/watch?v=k0Inz-0zsok&feature=youtu.be
Mahfud menyampaikan kepada Jokowi, tagihan tersebut masih ada karena ada yang masih mengelak tidak membayar. Ada juga yang mau menawar bahwa jumlah hutangnya tidak sebegitu dan seterusnya. "Saya katakan ini sudah kami tutup yang sudah bayar, ini sudah selesai, yang sisanya tetap harus ditagih Bapak Presiden karena itu berdasarkan inpres. Jadi dana BLBI itu harus kita tagih karena itu orang ngemplang terhadap uang negara," kata Mahfud.
Masalah pelanggaran HAM berat
Selanjutnya, dalam masalah Hak Asasi Manusia (HAM), dirinya menyampaikan tentang penyelesaian HAM berat di masa lalu yang memfokuskan pada sudut korban. Menurut Mahfud, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu ada 12 yang secara hukum sangat sulit. "Itu biar hukumnya berjalan nanti dibicarakan oleh pemerintah atau Kemenko Polhukam berikutnya. Tapi yang sudah diselesaikan oleh Kemenko Polhukam atas inpres tiga yaitu penyelesaian non-yudisial yaitu yang khusus untuk korbannya bukan pelakunya," ujarnya.
Disampaikan pula, Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah belasan tahun tak pernah memuji Indonesia, kali ini berpidato resmi menghargai Pemerintah Indonesia yang telah melakukan langkah penyelesaian HAM dari sudut korban. Menurutnya, saat ini pelaku masih terus dicari, tapi korbannya disantuni lebih dulu.