Kenapa Kata ‘Maneh’ Dianggap Tidak Sopan? Inilah Perkembangan Bahasa Sunda dari Masa ke Masa

18 Maret 2023, 15:05 WIB
Kamus lengkap Basa Sunda-Indonesia, pertamakali kamus basa Sunda di ciptakan oleh Dalem Pancaniti dan Rd. Kertawinata. /kabar-priangan.com/Rika Rostika Johara/

KABAR PRIANGAN - Belakangan ini seorang guru asal Cirebon bernama Muhammad Sabil Fadillah menjadi sorotan publik.

Pria yang pernah berprofesi sebagai guru honor di dua sekolah swasta itu awalnya mengomentari unggahan Instagram Ridwan Kamil dengan bahasa Sunda.

Dalam komentarnya ia menggunakan kata ‘manéh’ sebagai kata ganti orang kedua tunggal untuk menyebut Gubernur Jawa Barat tersebut.

Ridwan Kamil kemudian membalas komentar tersebut juga dengan menggunakan kata manéh yang ditujukan kepada Sabil. Aksi Sabil mendapat perhatian publik karena dianggap tidak sopan.

Baca Juga: Skema Pelaporan Dana BOS Terus Diinfokan, Komplen Telat Cair Masih Diabaikan?

Kata manéh berarti kamu, tetapi umumnya digunakan dalam percakapan antar orang yang sudah akrab (loma). Jika penutur tidak saling mengenal, kata ini berkonotasi kasar dan dianggap kurang sopan.

Sejak awal mula digunakan oleh masyarakat Sunda baik secara lisan maupun tulisan sampai saat ini, bahasa Sunda telah mengalami berbagai perkembangan.

Dilansir dari makalah “Sajarah Basa Sunda” yang diterbitkan Fakultas Pendidikan Bahaha dan Sastra (FPBS), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Sabtu 18 Maret 2023, perkembangan bahasa Sunda dibagi ke dalam lima pembabakan.

Baca Juga: Persiapan Hadapi Libur Idul Fitri 2023, Puluhan Lifeguard Berbagai Daerah di Jabar Berkumpul di Pangandaran

Pertama, bahasa Sunda sebelum tahun 1600-an. Pada masa ini bahasa Sunda banyak dipengaruhi bahasa Sansakerta. Sementara, aksaranya banyak pengaruhi huruf Palawa.

Bahasa Sunda periode ini sering juga disebut bahasa Sunda Kuno dan bisa ditemukan pada sejumlah naskah kuno, prasasti batu tulis, dan sastra lisan.

Pada periode ini, bahasa Sunda yang dimaksud adalah bahasa digunakan sebagai bahasa sehari-hari dan bahasa resmi kerajaan baik di Tarumanagara, Kendan, Sunda (pra dan pasca era Pakwan Pdjadjaran), Galuh, maupun kerajaan-kerajaan lain yang berada di sekitarnya.

Baca Juga: Viral! Tempat Wisata Kuliner Unik di Sumpiuh Banyumas, Pocong Layani Pengunjung yang Makan di Angkringan Horor

Bahasa Sunda pada periode ini tidak memiliki tingkatan bahasa (undak-usuk basa) seperti sekarang. Hal ini bisa dilihat dalam sejumlah tinggalan budaya yang bertitimangsa kurang dari abad ke-17.

Seperti naskah kuno Siksakanda ng Karesian, Carita Parahiyangan, maupun sejumlah prasasti yang kini berada di Situs Lingga Hyang Astana Gede Kawali.

Kedua, bahasa Sunda antara tahun 1600-1800. Periode kedua ditandai dengan takluknya Kerajaan Sunda (Pakwan Padjadjaran) pada tahun 1579 oleh pada Kesultanan Banten yang dibarengi dengan makin tersebarnya Islam ke Tanah Pasundan.

Baca Juga: Membanggakan! MUA Asal Cirebon Eksis di New York Fashion Week

Pada periode ini pula sebagian besar wilayah di Priangan jatuh ke tangan Mataram.

Pada periode ini bahasa Sunda mendapat dua pengaruh sekaligus, yakni dari bahasa Arab dan Jawa. Pengaruh bahasa Arab dibawa oleh penyebar ajaran Islam terutama di pesantren-pesantren.

Sementara, bahasa Jawa digunakan oleh para ménak (bangsawan) Priangan untuk berkomunikasi dengan pembesar-pembesar Mataram.

Orang-orang Sunda yang mulanya masih menuturkan bahasa Sunda “asli” harus beradaptasi dengan bahasa Jawa yang digunakan oleh para pembesar.

Baca Juga: Pemprov Jabar Kucurkan Dana Rp60 Milyar, Unpad Mulai Bangun Rumah Sakit Pendidikan di Jatinangor

Oleh karena itu, bahasa Sunda mulai mengenal tingkatan bahasa seperti bahasa Jawa. Sejak saat itu bahasa Sunda menerapkan undak-usuk basa yang diajarkan di dunia pendidikan dan digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Menurut Ajip Rosidi dalam buku Masa Depan Budaya Daerah, tingkatan bahasa merupakan ekspresi atau perwujudkan sistem feodal yang mengenal kelas-kelas sosial.

Hal ini umum dalam masyarakat berbasis sawah seperti masyarakat Jawa. Namun, tidak demikian dengan masyarakat Sunda yang berbasis huma/ladang.

Baca Juga: Intip Koleksi Ramadhan dan Idul Fitri 1444 H dari Jenama Fashion Lokal yang Ikutserta di New York Fashion Week

Masyarakat huma pada mulanya tidak mengenal kelas-kelas sosial yang rigid khas masyarakat feodal.

Sementara, dalam hal bahasa tulis, periode ini ditandai dengan digunakannya aksara Pegon dan Sunda untuk menulis bahasa campuran Sunda, Arab, dan Jawa dalam karya-karya sastra pada masa itu, seperti Carita Waruga Guru, Babad Galuh (Carita Wiwitan Raja-raja di Pulo Jawa), dan lain sebagainya.

Ketiga, bahasa Sunda antara tahun 1800-1900. Pada periode ini, bahasa Sunda mengalami perkembangan signifikan karena mulai diajarkan di sekolah-sekolah yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda.

Baca Juga: Sri Asih, Film dari Jagat Sinema Bumi Langit akan Tayang di Disney Hotstar

Pada tahun 1879 terdapat 64 sekolah di Jawa Barat yang mengajarkan baca-tulis dan sastra Sunda, Jawa, dan Melayu.

Pada masa ini bahasa Sunda kembali digunakan sebagai bahasa tulisan setelah pada periode sebelumnya didominasi bahasa Jawa dan Arab.

Pada periode ini pula muncul kamus bahasa Sunda karya Dalem Pancaniti dan Rd. Kertawinata.

Bahasa Sunda juga digunakan sebagai bahasa pengantar resmi di sekolah-sekolah di wilayah Jawa Barat.

Baca Juga: Orang Rusia dan Ukraina di Bali Rebut Lapangan Kerja Penduduk Lokal, Bagaimana Sikap Pemerintah RI?

Selain bahasa Sunda, siswa juga bejalar bahasa Melayu yang berstatus sebagai lingua franca yang umum di masa itu.

Pemerintah Kolonial memberi perhatian serius pada bahasa Sunda dengan melakukan penelitian khusus setelah sebelumnya bahasa Sunda dianggap sebagai salah satu dialek dari bahasa Jawa.

Keempat, bahasa Sunda antara tahun 1900-1945. Sebelum Jepang datang pada tahun 1942, bahasa Sunda digunakan di hampir seluruh bidang kehidupan di Jawa Barat, termasuk di dunia pendidikan.

Koran, majalah, dan buletin berbahasa Sunda pun bermunculan, di antaranya Papaés Nonoman (1915), Pasoendan (1917), Padjadjaran (1918), Poestaka Soenda (1923), Sipatahoenan (1923), dan lain sebagainya.

Baca Juga: Puluhan Budayawan Datangi Ponpes Daarul Falah Baregbeg, Tabayyun Soal Rencana Pergantian Nama Ciamis ke Galuh

Pada masa ini bahasa Sunda dipengaruhi oleh kebudayaan dan pendidikan Barat melalui kolonialisme. Karena pengaruh interaksi budaya, maka bahasa Sunda pun bercampur-campur dengan bahasa Jawa, Arab, Melayu, dan Belanda.

Bahasa-bahasa tersebut saling pengaruhi dan berdampak pada perkembangan masing-masing bahasa di Nusantara/Indonesia.

Ketika Jepang datang menjajah pada tahun 1942-1945, hal-hal bernuansa kedaerahan dibatasi, termasuk penggunaan bahasa Sunda baik lisan maupun tulisan.

Sebagai gantinya, Jepang mewajibkan penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di sekolah dan percakapan resmi di pemerintahan.

Baca Juga: Kaya Manfaat! Inilah Resep Puding Kurma Saus Karamel Bisa Dijadikan Hampers Ramadhan

Kelima, bahasa Sunda periode tahun 1945 sampai sekarang. Setelah kemerdekaan, posisi bahasa Sunda bergeser karena adanya anjuran dan kewajiban mengutamakan bahasa Indonesia, misalnya bahasa pengantar di sekolah dan bahasa resmi di pemerintahan.

Di sisi lain, majalah dan buku-buku bahasa Sunda semakin banyak diterbitkan khususnya di masa awal-awal kemerdekaan. Sejalan dengan itu, penelitian mengenai bahasa dan sastra Sunda semakin digalakan.

Pada tahun 1952 diadakan konferensi bahasa Sunda yang salah salah satu poinnya adalah lahirnya Lembaha Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS) yang kemudian menyelenggarakan Kongres Bahasa Sunda secara berkala sejak tahun 1954.

Baca Juga: Mudik Gratis 2023 Bersama Jasa Raharja, Berikut Syarat dan Cara Daftarnya!

Perkembangan bahasa yang menurut data Kemendikbudristek tahun 2019 dituturkan oleh 32,4 juta penutur ini juga didorong oleh keberadaan Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa Sunda di FPBS, UPI Bandung dan Prodi Sastra Sunda, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjdjaran.***

 

Editor: Dede Nurhidayat

Tags

Terkini

Terpopuler