“Pan tahu teh diangin-angin heula memeh dibungkusan. Jadi mun jam 10 mungkus, beres misalna jam 12, terus engke mungkus deui sore, kumaha seueurna orderan eta mah (Kan tahu harus diangin-anginkan dulu sebelum dibungkus. Jadi kalau jam 10 pagi membungkus, selesai misalnya jam 12 siang, lalu nanti bungkus lagi sore, bagaimana banyaknya pesanan, Red)” kata Ade.
Tak hanya Ade, sejumlah pekerja perempuan lain juga melakukan hal yang sama untuk menambah pendapatan. Tapi ada pula yang pulang ke rumah untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, lalu akan kembali lagi pada sore hari untuk mengepak tahu.
Perjuangan para pekerja dalam mengumpulkan pundi-pundi rupiah tersebut semakin diuji ketika Covid 19 mewabah dan menjadi pandemi. Mulanya pemerintah meliburkan segala bentuk kegiatan masyarakat selama 14 hari pada Maret 2020. Lalu memberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat dengan menutup sekolah, kantor-kantor, fasilitas umum, dan seluruh kegiatan sosial. Banyak sahabat, kerabat, dan keluarga yang direngut nyawanya akibat infeksi virus Sarscov 2 itu.
Kondisi itu tak hanya mengancam keselamatan jiwa, namun juga kondisi perekonomian negara, terutama pelaku usaha kecil dengan modal yang kecil pula. Tempat-tempat wisata ditutup, penjual tahu bulat tak bisa jualan di sana. Kompleks perumahan dijaga ketat, tahu bulat yang digoreng dadakan limaratusan dengan mobil pick up juga tidak bisa masuk ke sana. Di sekolah apalagi, mereka lebih dulu diliburkan. Para penjual tahu bulat pun akhirnya ikut libur berjualan.
Kontan, Pabrik Tahu Bulat Melati milik Teh Ucu tidak mendapat pesanan seperti biasanya. Kalau pun ada, tak seberapa, hanya sekitar 30 persen dari jumlah biasa. Jelas hal itu mempengaruhi jumlah upah yang dibayar dengan cara borongan tersebut. "Jika sebelum pandemi pabrik itu menghasilkan 50-80 baskom tahu yang harus dipak oleh para pekerja perempuan, di masa pandemi mereka hanya bertugas mengepak 20 baskom," tutur Teh Ucu.
Baca Juga: Jamil, Manusia Super dari Cidolog Ciamis yang Kebal Listrik,
Teh Ucu pun tak dapat berbuat banyak. Ia menyadari bahwa tak hanya dirinya yang terdampak tapi juga seluruh masyarakat, bahkan dunia. Ia serahkan kepada para pekerja untuk memutuskan, apakah akan terus bekerja dengan upah yang sangat minim, atau mau mengambil libur. “Kasihan kan mereka juga butuh penghasilan,” kata Teh Ucu.