Ramadan dan Peran Ekonomi Islam

19 April 2021, 16:53 WIB
Ustadz H. Endang Hidayat /DOK PRIBADI/

KABAR PRIANGAN - Bulan Ramadan merupakan moment yang paling strategis bagi umat Islam untuk memperbaiki juga sebagai bahan introspeksi diri setelah melihat berbagai kekurangan-kekurangan yang telah dialami di masa lalu.

Selama ini kerap timbul kesan bagi sebagian umat Islam bahwa bulan Ramadan adalah bulan istirahat dan bulan berleha-leha menunggu kumandang adzan Maghrib.

Pemahaman seperti ini timbul dari salah baca terhadap makna Ramadan yang sebenarnya. Secara etimologi, Ramadan berasal dari akar kata “ramadl” yang berarti “membakar”.

Artinya, Ramadan adalah momentum umat Islam untuk membakar dosa lebih intensif dibandingkan bulan lain, sehingga usaha dan semangat beribadah pun mesti lebih masif dilakukan.

Konon, para sahabat mempersiapkan penyambutan Ramadan selama enam bulan. Enam bulan setelahnya, mereka khusyuk meminta kepada Allah SWT agar ibadah shaum-nya diterima.

Ramadan adalah bulan suci yang penuh makna, sarat nilai, multi-hikmah dan bermega-pahala. Selain menyehatkan raga dan menenangkan jiwa, berpuasa juga mengajarkan hidup toleran, sederhana, dan bahkan produktif. Tidak hanya itu, Ramadan turut meletakkan landasan pembangunan ekonomi umat.

Setiap kali Ramadan datang, kita selalu menaruh harapan besar pada bulan suci itu. Harapan untuk kehidupan yang lebih baik sesuai dengan nilai-nilai qur’ani.

Tidaklah mengherankan jika tema-tema dakwah Ramadan selalu mengarah kepada perubahan. Seolah-olah Ramadan akan merubah segalanya.

Kehidupan politik yang nir etika berubah menjadi kehidupan politik yang berbingkai moral dan berpayung kesantunan.

Akhlak yang kerap kali absen dalam kehidupan sosial budaya berubah menjadi kehidupan yang berkeadaban.

Demikian pula kehidupan ekonomi kita yang sangat kapitalistik dan abai terhadap dhuafa dan mustadh’afin, berubah menjadi kehidupan ekonomi yang menjunjung nilai-nilai syariah.

Yang sangat menarik, karunia di tengah Ramadan tidak hanya hal-hal yang berdimensi ukhrawi, tapi aspek keduniaan pun cukup terbuka lebar terutama dimensi ekonomi. Fakta menunjukkan, para pelaku ekonomi meraih pendapatan besar atas kehadiran bulan suci Ramadan.

Tak sedikit di antara umat manusia yang berpuasa ataupun tidak, dari barisan Muslim ataupun umat lainnya merasakan manfaat besar dari kehadiran Ramadan yang tersirkulasi atau terdistribusi secara menyeluruh, mulai dari wilayah perkotaan hingga pedesaan.

Tak dapat disangkal, roda ekonomi benar-benar tampak hidup selama bulan suci ini. Karena itu, tidaklah berlebihan jika sebagian umat manusia mengharapkan seluruh bulan (sepanjang tahun) menjadi Ramadan, meski hal ini tidaklah mungkin.

Keinginan ini sebagai implikasi positif atas tingkat pendapatan yang menaik tajam dan hal ini berbeda bila diperbandingkan bulan-bulan lainnya.

Ramadan adalah bulan di mana manusia bisa jernih berfikir dan bertindak sehingga dakwah-dakwah tentang manusia yang bersahaja dalam bingkai ekonomi Islam sangat dekat dengan perilaku manusia-manusia Ramadan.

Kedua, Ramadan menjadi bulan di mana manusia bersemangat menjalankan perintah-perintah Tuhan tanpa banyak bertanya alasan di baliknya.

Ketiga, pada Ramadan manusia tidak atau mungkin kurang mengedepankan hitungan-hitungan cost-benefit material.

Pada bulan ini manusia mengedepankan hitungan cost-benefit spiritual, sebagai kompensasi dari kerakusan pada bulan di luar Ramadan atau memang sebuah kesadaran yang tulus. Kita perhatikan, perilaku sedekah, infak dan zakat meningkat cukup dramatis di bulan ini.

Di sinilah, bulan Ramadan menjadi momentum lahirnya semangat dan kesadaran umat Islam untuk melakukan aktivitas ekonomi sesuai ajaran agamanya: menanggalkan riba (bunga), menjauhi gharar, maysir, tadlis, ihtikar dan lain sebagainya.

Sebab, implikasi puasa tidak saja berdimensi ibadah spiritual an-sich, tetapi juga mengajarkan akhlak horizontal (mu’amalah), khususnya dalam bidang bisnis.

Sungguh aneh apabila ada orang berpuasa dengan khusyuk, tetapi melanggar ajaran-ajaran Allah dalam mu’amalah, seperti masih mempraktekkan riba yang diharamkan atau melakukan penipuan harga yang tidak pantas.

Implementasi aktivitas ekonomi Islam ini diharapkan dapat memperkuat sendi perekonomian umat yang puncaknya akan melahirkan social distributive justice (keadilan distribusi sosial).

Harta tidak hanya berputar pada segelintir orang dengan mengoptimalkan konsep zakat, infak, shadaqah dan wakaf.***

Oleh : Ustadz H. Endang Hidayat

Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Pangandaran

Editor: Zulkarnaen Finaldi

Tags

Terkini

Terpopuler