Menilik Dua Hutan Sakral di Kampung Naga Tasikmalaya, Simak Penjelasannya

- 29 Juni 2022, 12:27 WIB
Tempat wisata Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya.
Tempat wisata Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya. //Instagram/ @nelajervansha

 

KABAR PRIANGAN - Kampung naga adalah sebuah daerah perkampungan adat yang terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya tepatnya di sekitar daerah perbatasan antara Tasikmalaya dan Garut, Jawa Barat.

Mengapa Kampung Naga disebut dengan kampung atau desa adat? Hal itu karena masyarakat Kampung Naga masih memegang teguh adat istiadat suku sunda yang masih melekat dari zaman dahulu kala.

Banyak masyarakat yang salah paham dengan penamaan “Kampung Naga”. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa asal mula penamaan Kampung Naga ini merujuk pada seekor makhluk mitologi yaitu naga.

Baca Juga: Didukung Pemerintah, PSSI Resmi Ajukan Indonesia Sebagai Tuan Rumah Putaran Final Piala Asia 2023

Padahal asal mula penamaan Kampung Naga tidak memiliki arti seperti demikian dan tidak ada sangkut pautnya dengan makhluk mitologi karena seluruh masyarakat Kampung Naga sendiri beragama Islam dan tidak mempercayai hal-hal demikian.

Menurut penuturan Darmawan selaku salah seorang juru kunci (kuncen), yang diwawancarai langsung oleh Tista selaku mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas Pendidikan Indonesia, asal mula kata “naga” pada penamaan Kampung Naga sendiri diambil dari dua suku kata pertama na gawir yang artinya sebuah desa yang berada di pinggiran tebing.

Kampung Naga memiliki sejumlah daya tarik tersendiri sehingga banyak sekali mahasiswa yang tertarik untuk mengkaji kampung adat ini.

Baca Juga: Bukan Menghilang, Keluarga Jelaskan Marshanda Sedang Healing Trip di Amerika

Mempertahankan adat istiadat mereka menjadi suatu hal yang wajib sifatnya bagi masyarakat Kampung Naga.

Salah satu hal yang menarik perhatian ialah adanya dua hutan yang disakralkan masyarakat Kampung Naga.

Untuk menjaga dan mengawasi kedua Kawasan hutan tersebut dibutuhkan seorang juru kunci yang disebut dengan kuncen. Syarat untuk menjadi kuncen ialah masyarakat setempat dan dilakukan secara turun-temurun.

Baca Juga: Gonjang-ganjing Penggunaan Ganja untuk Medis, DPR Akan Minta Pendapat Pakar. Wapres: MUI Akan Keluarkan Fatwa

Sehingga tidak sembarang orang dapat menjadi kuncen atau seorang juru kunci untuk menjaga wilayah atau kawasan kedua hutan sakral tersebut.

Tak banyak yang tahu, bahwa desa adat Kampung Naga ini diapit oleh dua hutan, yaitu hutan larangan dan hutan keramat. Terdapat beberapa perbedaan antara hutan larangan dan hutan keramat.

Menurut penuturan narasumber yang merupakan salah seorang juru kunci (kuncen), yaitu Darmawan, hutan larangan adalah sebuah hutan yang sama sekali tidak boleh dimasuki oleh siapapun termasuk masyarakat setempat.

Baca Juga: Harga Pakan Terus Naik, Peternak Ikan Kelimpungan. Ketua Poktan: Bukannya Untung, Pembudidaya Malah Rugi

Bahkan, ketika terjadi suatu fenomena dalam hutan tersebut, masyarakat tetap dilarang untuk memasukinya apapun yang terjadi. Tujuannya agar hutan tersebut tidak rusak dan tetap terjaga ekosistemnya. Hutan larangan terletak di sebelah timur Kampung Naga di seberang sungai Ciwulan.

Beliau juga menuturkan bahwa hutan larangan sudah ada sejak lama, jauh sebelum berdirinya Kampung Naga.

Sedangkan hutan keramat adalah hutan yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat karena dalam hutan ini terdapat makam para leluhur masyarakat Kampung Naga.

Baca Juga: Jadwal Acara NET TV Rabu 29 Juni 2022: Saksikan Drakor 18 Again, Birth Of Beauty, Zona Musik dan Hello Jadoo

Berbeda halnya dengan hutan larangan, hutan keramat ini boleh dimasuki oleh masyarakat setempat. Namun, hutan tersebut hanya dapat dimasuki pada waktu-waktu tertentu seperti hari-hari besar Islam yakni dikunjungi sekitar enam kali dalam satu tahun.

Hutan keramat ini terletak di di atas area pemukiman masyarakat Kampung Naga dan dibatasi oleh pembatas berupa kayu yang dibentuk seperti pagar.

Terdapat sebuah istilah yang menandakan suatu larangan bagi seseorang yang melanggar norma adat di Kampung Naga yang disebut dengan istilah pamali. Istilah pamali diartikan sebagai sesuatu yang tidak boleh dilanggar.

Baca Juga: Gempa di Kupang NTT Magnitudo 5,0 Akibat Tumbukan Lempeng Australia dan Busur Banda

Salah satu pamali atau hal yang dilarang ialah memasuki hutan larangan dan hutan keramat. Adapun sanksi yang diterapkan bagi orang yang melanggar pamali tersebut adalah sanksi adat.

Jika orang yang melanggarnya merupakan masyarakat setempat Kampung Naga, maka orang tesebut akan dikeluarkan dari kampung. Sedangkan jika orang yang melanggarnya berasal dari luar Kampung Naga, maka orang tersebut dilarang untuk menginjakkan kaki lagi di Kampung Naga atau yang biasa dikenal dengan istilah blacklist.

Menurut narasumber, hingga saat ini tidak pernah ada yang melanggar pamali tersebut karena masyarakat Kampung Naga sangat memegang teguh adat istiadat dari leluhur mereka.

Baca Juga: Kecelakaan Lalu Lintas di Cijeungjing Ciamis, Motor Mio Dihantam Bus Budiman

Sehingga sampai sekarang belum pernah ada masyarakat yang masuk ke hutan larangan dan menerima sanksi adat yang diberlakukan.

Hal tersebut berdampak baik kepada kehidupan masyarakat sekitar, juga kepada semua makhluk hidup yang tinggal dalam hutan karena ekosistemnya terjaga.

Terbukti di daerah Kampung Naga jarang sekali terjadi bencana seperti tanah longsor dan banjir meskipun daerahnya terletak di daerah dataran rendah yang dikelilingi oleh tebing serta dekat dengan sungai Ciwulan.

Baca Juga: Tertarik Melihat Pengelolaan Bank Sampah dari Internet, Rombongan Bupati Luwu Sulsel Langsung Datangi Ciamis

Itu karena masyarakat Kampung Naga mematuhi segala aturan dari leluhur mereka seperti tidak memasuki hutan larangan dan tetap menjaga alam, hal tersebut dapat meminimalisir timbulnya bencana alam.

Upaya masyarakat dalam menjaga ekosistem hutan larangan ialah dengan mejaga dan memegang teguh adat istiadat leluhur dengan tetap berpegang pada 3 istilah sakral, yaitu amanat, wasiat, dan akibat.

Ketiga istilah tersebut memiliki keterkaitan antara satu dan lainnya. Secara umum, keterkaitan ketiga istilah itu adalah jika seseorang melanggar amanat dan wasiat dari leluhur, maka orang tersebut akan menerima akibat yang setimpal.

Baca Juga: Sidang Isbat Penentuan Idul Adha Digelar Kemenag 29 Juni 2022, BMKG Siarkan Rukyat Live di Link Berikut Ini

Nilai kehidupan yang dapat kita ambil adalah ketika kita menjaga alam dan ekosistem di suatu lingkungan, maka alam pun akan memberikan timbal balik yang baik kepada kita karena telah menjaganya.

Begitu pula sebaliknya, jika kita tidak peduli dengan alam apalagi hingga merusak alam, maka alam pun akan marah kepada kita dan kita akan merasakan akibat buruknya.***

Editor: Dede Nurhidayat


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x