KABAR PRIANGAN - Dinas Kesehatan Jawa Timur (Jatim) menyampaikan data terkait wabah Leptospirosis yang diakibatkan oleh hewan, terutama kencing tikus. Ada 9 orang yang dinyatakan meninggal akibat penyakit tersebut.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa pun membenarkan terkait hal terseut, dan megatakan ada beberapa wilayah yang terdeteksi wabah Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyakit yang diakibatkan oleh bakteri Leptospira sp. Menular melalui air yang terkontaminasi atau mengenai kulit yang terluka. Hampir terjadi di semua wilayah dunia dengan berbagai iklim.
Baca Juga: Event Motor Trail di Ranca Upas Berakhir Ricuh dan Merusak Lingkungan, Bupati: Kami Dirugikan!
Namun spesies bakteri tersebut dapat hidup pada air yang bersuhu hangat, sehingga peluang hidupnya seribu kali lebih besar di wilayah beriklim tropis.
Jika penderita Leptospirosis tidak ditangani dengan cepat, resiko kematiannya tinggi karena dapat terjadi komplikasi dan kerusakan fungsi organ tubuh, yang disebut fase Weil.
Sejarah Leptospirosis
Dilansir oleh kabar-priangan.com dari Jurnal Leptospirosis: a leisure and occupational hazard, pada 8 Maret 2023, penyakit tersebut pertama kali disebut dengan penyait Weil pada tahun 1886, oleh Profesor Kedokteran dari Universitas Heidelberg, Jerman, dokter Adolf Weil.
Baca Juga: Enam Ekor Domba Milik Warga Pasir Batang Sumedang Raib Digondol Maling
Sebagai penyakit menular disertai dengan pembesaran organ limfa, kerusakan nginjal, dan penyakit kuning.
Kemudian penyakit tersebut dilaporkan sebagai epidemi di kalangan tentara dan populasi umum di Eropa Barat. Penyakit Weil tersebut ditemukan juga di negara lain seperti di Jepang, yang mengifeksi penambang batu bara tahun 1914-1915.
Pada masa itu disebut sebagai Demam Musim Gugur. Kemudian Universitas Kyushu berhasil mengisolasi bakteri yang berasal dari darah marmut.
Di China, pada zaman kuno penyakit itu disebut penyakit kuning panen padi sebagai demam 7 hari.
Baca Juga: 9 Warga Jatim Meniggal Karena Kencing Tikus atau Leptospirosis, Masyarakat Diminta Waspada
Berdasarkan laporan, nama penyakit tersebut disesuaikan dengan jenis pekerjaan, lingkungan, iklim, dan durasi. Maka disimpulkan penyakit itu dipengaruhi oleh lingkungan, jenis pekerjaan, dan iklim.
Sejak penyebabnya diketahui, dan pembawanya adalah binatang, tahun 1920-1960, mulai diketahui bahwa penularan penyakit dengan bekerja dalam lingkungan yang retan terkontaminasi. Peneliti Jepang, menjelaskan bahwa tikus berfungsi sebagai pembawa bakteri.
Kemudian dilakukan penelitian dengan mengisolasi spesies Leptospira dari hewan inang bakteri tersebut di seluruh dunia. Ada lebih dari 180 hewan penelitian yang teridentifikasi dengan deskripsi aspek klinis terkait penyakit tersebut.
Penyebaran Indonesia
Iklim yang sesuai dengan perkembangan bakteri Leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah, dan pH alkalis, kondisi tersebut banyak ditemukan di negara beriklim tropis.
Kasus Leptosirosis 1.000 kali lebih banyak di temukan di negara beriklim tropis dari pada negara sub tropis dengan resiko penyakit yang lebih berat, salah satunya di Indonesia.
Angka kejadian Leptospirosis di negara tropis basah 5-20 kasus per 100 ribu jumlah penduduk per tahun. WHO mencatat, pada saat wabah terjadi lebih dari 100 orang dari kelompok beresiko tinggi diantara 100 ribu orang dapat terinfeksi.
Di Indonesia, Leptospirosis tersebar di beberapa wilayah, antara lain Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Lampung, Sumatra Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Bali, NTB, Sulawesi Utara, Sulwesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat.
WHO mencatat, angka kematian akibat Leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5 hingga 16,45 persen. Pada usia diatas 50 tahun, kematian mencapai 56 persen.
Leptospirosis adalah penyakit yang ditularkan melalui air. Urin dari individu yang terinfeksi bakteri leptospira merupakan sumber utama penularan. Baik pada manusia maupun pada hewan. Bakteri tersebut bergerak dengan cepat di air, menjadi faktor utama untuk menginfeksi inang baru.
Hujan deras akan membantu penyebaran bakteri tersebut, terutama saat banjir. Gerakan bakteri tidak mempengaruhi kemampuannya memasuki jaringan tubuh, tapi mendukung proses invasi dan penyebaran di dalam aliran darah.
Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada saat banjir. Banjir menyebabkan genangan air, lingkungan becek dan berlumpur, serta banyak timbunan sampah, yang menyebabkan mudahnya bakteri tersebut berkembang biak.
Air kencing tikus yang terbawa oleh banjir kemudian masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir pada mata dan hidung. Hingga saat ini, tikus merupakan pembawa sekaligus penyebar Leptospirosis karena merupakan inang alami dan memiliki daya reproduksi yang tinggi.
Baca Juga: Subsidi Motor Listrik Siap Disalurkan Bulan Ini, Simak Syarat Pengajuannya di Sini!
Beberapa hewan lain seperti anjing, sapi, babi, kuda, kambing, dan domba juga dapat terserang Leptospirosis, tetapi potensi penularan terhadap manusia tidak sebesar tikus.
Di Indonesia, banyak gerakan untuk membasmi tikus terutama tikus sebagai hama. Namun perlu diingat, tikus tidak hanya merusak tanaman, tetapi juga menjadi inang pembawa bakteri penyebab Leptospirosis.
Sehingga para petani harus lebih berhati-hati ketika bekerja.
Gunakan alat pelindung diri, seperti sepatu dan sarung tangan, serta bersihkan diri usai beraktivitas.****