KABAR PRIANGAN - Jurnalis asal Kota Tasikmalaya Jawa Barat, Ecep Suwardaniyasa Muslimin, meraih gelar doktor di Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI). Ecep berhasil mempertahankan disertasinya berjudul "Terorisme dan Media Baru: Kajian Stratejik Migrasi Pergerakan Pelaku Teror di Indonesia" dalam sidang terbuka di Gedung IASTH Kampus UI Salemba, Jakarta Pusat, Jumat 31 Mei 2024.
Bertindak selaku Ketua Sidang yakni Athor Subroto, Ph.D., dan selaku Promotor Prof. Dr. Drs. Ibnu Hamad, Msi., serta selaku Ko-Promotor M. Syauqillah, S.H.I., M.Si., Ph.D., dan Dr. Puspitasari, S.Sos., M.Si. Sedangkan tim penguji terdiri dari, Dr. Margaretha Hanita, S.H,. M.Si.; Dr. Benny Jozua Mamoto, S.H., M.Si.; Dr. A. Hanief Saha Ghafur; M. Syaroni Rofii, S.H.I., M.Si., Ph.D; Solikhah Yuliatiningtyas, S.Sos., M.Si., Ph.D.
Ecep yang juga menjabat GM News Gathering and Production tvOne, meraih gelar doktor dengan predikat cumlaude. Ia menjadi doktor ke-12 di Program Studi Stratejik dan Global UI. "Saya mengucapkan selamat buat Ecep yang selama ini aktif sebagai jurnalis untuk liputan teroris, sekarang meraih doktor dengan cumlaude," kata Prof Ibnu.
Sudah 30 Tahun Melakukan Kajian Pergerakan Teroris
Ecep sendiri dalam disertasinya melakukan kajian pergerakan teroris di Indonesia dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Menurutnya, gelombang teroris tahun 2002 sampai 2014 berada dalam gerakan konvensional. Mulai dari cara merekrut, cara melatih, cara mencari uang dan lainnya.
Konvensional dimaksud yaitu tak banyak menggunakan media sosial. Pertemuan antaranggota teroris tatap muka langsung dalam komunikasi. Begitu juga dalam merekrut dilakukan dengan tatap muka, melatih atau merakit bom dengan tatap muka. Termasuk dalan kasus Bom Bali dan lainnya.
Perubahan Mulai Tahun 2015
Sedangkan mulai tahun 2015, gerakan mereka berubah atau migrasi menggunakan media sosial.
Para teroris menggunakan media sosial untuk kampanye atau mengajak, melatih hingga mencari dana di media sosial. Jarang sekali mereka bertemu tatap muka. Bahkan pelaku juga lebih individual atau hanya kelompok kecil di keluarga, seperti teroris dalam kasus penusukan Jenderal Wiranto. Pelaku terpapar paham radikal dari Facebook dan hanya tiga orang yaitu suami istri dan anaknya.