"Kita berbicara tentang kelumpuhan total aktivitas ekonomi di Gaza. Ada 65.000 fasilitas ekonomi, mulai dari industri pertanian hingga jasa, di sektor swasta yang telah hancur atau berhenti beroperasi karena perang. Hal ini mengakibatkan hilangnya banyak pekerjaan, yang pada akhirnya menyebabkan kurangnya ketahanan pangan," katanya.
Selain itu, sejumlah kecil bantuan yang diizinkan oleh Israel untuk masuk ke Gaza tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir satu juta pengungsi yang tinggal di sekolah-sekolah PBB bahkan untuk satu hari.
Bakr memaparkan bahwa Jalur Gaza membutuhkan 1.000 hingga 1.500 truk per hari untuk memenuhi kebutuhan 2,3 juta penduduknya. Sementara saat ini angkanya jauh dari itu, "Dari 22 Oktober hingga 12 November, dalam 20 hari itu, kurang dari 1.100 truk memasuki Jalur Gaza, Tidak sampai 400 truk di antaranya membawa produk makanan. (Jumlah itu) hanya 10 persen dari kebutuhan sektor pangan Gaza yang terpenuhi. Ini sama sekali tidak cukup, terutama ketika Anda mempertimbangkan fakta bahwa, sebelum 7 Oktober, setidaknya 500 truk masuk ke Jalur Gaza setiap hari".
Baca Juga: Donasi Membasuh Luka Palestina di Sumedang Terkumpul Rp461 Juta Lebih
Kehancuran Infrastruktur
Ada juga masalah kurangnya kompensasi untuk bisnis, kata analis ekonomi, Elhasan Bakr. Dia menunjuk pada fakta bahwa setelah perang Israel sebelumnya di daerah kantong tersebut, bantuan donor lebih berpusat pada pembangunan kembali unit-unit rumah, daripada mendukung perekonomian.
Menurut perkiraan PBB, empat serangan terakhir Israel di Jalur Gaza antara tahun 2009 dan 2021 menyebabkan kerusakan yang diperkirakan mencapai $ 5 miliar, tetapi tidak ada satu pun dari kerusakan pada perang tahun 2014 dan 2021 yang telah diperbaiki.
"Kita berbicara tentang kehancuran infrastruktur dasar yang membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk dibangun kembali, dari jalan raya, menara komunikasi, instalasi listrik, dan perluasan sanitasi," kata Bakr.