Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman di Tasikmalaya: MK Telah Digagas Sejak Perumusan Pertama Kali UUD 1945!

4 Juni 2023, 14:37 WIB
Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Prof. Dr. Anwar Usman (kiri) saat hadir memberi kuliah kebangsaan di Pesantren Amanah Mangkubumi Kota Tasikmalaya, Sabtu 3 Juni 2023.*/kabar-priangan.com/istimewa /

KABAR PRIANGAN - Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia merupakan sebuah ikhtiar untuk membentuk suatu lembaga yang dapat menguji norma undang-undang (UU) terhadap undang-undang dasar (UUD) dan hal tersebut telah digagas sejak perumusan pertama kali UUD 1945. Gagasan tersebut, seperti dikatakan Ketua MK Prof. Dr. Anwar Usman, SH, MH, dicetuskan oleh Moh. Yamin saat pembahasan sidang BPUPKI. Namun gagasan itu belum dapat diwujudkan karena berbagai alasan. 

“Indonesia saat itu baru saja merdeka dan belum memiliki pengalaman untuk melakukan kewenangan tersebut. Belum adanya sarjana hukum yang memiliki pengetahuan untuk melaksanakan kewenangan yang dimaksud jadi kendala," kata Anwar saat memberi Kuliah Umum Kebangsaan dalam acara Seperempat Abad Pesantren Amanah Muhammadiyah, Jalan Sambong, Kecamatan Mangkubumi, Kota Tasikmalaya, Sabtu 3 Juni 2023.  

Barulah sejak bergulirnya reformasi pada tahun 1998, gagasan untuk mewujudkan lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji suatu norma UU terhadap UUD dapat dirumuskan. Adapun dibentuknya Mahkamah Konstitusi pada perubahan UUD 1945 tahun 1999-2002, bertujuan untuk mengawal terjaminnya hak konstitusional warga negara.

Baca Juga: Podcast 'Kopi Pagi’ Bersama Kang Ray. Pemilu Sistem Proporsional Tertutup, Bak Memilih Kucing Dalam Karung

Dalam konteks ini, MK bertugas untuk mengawal agar jaminan hak konstitusional warga negara dapat dijamin pelaksanaannya melalui pembentukan UU sebagaimana digariskan dalam UUD 1945. “UU merupakan produk politik yang dibentuk oleh dua lembaga negara yakni legislatif dan eksekutif. Kedua lembaga negara ini mendapatkan legitimasi kekuasaannya melalui konsep demokrasi dengan mekanisme yang kita kenal sebagai pemilu," ucapnya.

Ditambahkan Anwar, produk pemilu tentu akan menghasilkan suara mayoritas yang pada akhirnya akan berujung pada kekuasaan untuk dapat duduk secara mayoritas, baik itu di parlemen maupun kedudukan tertinggi di eksekutif yakni sebagai presiden. "Konsep ini berlaku hampir di semua negara yang menganut paham demokrasi bertumpu pada prinsip teori kerugian rakyat, dimana rakyat digambarkan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi," ujarnya.

Hal tersebut, lanjut Anwar, seolah telah menggambarkan konsep yang ideal dalam sistem bernegara. Padahal, jika dicermati prinsip demokrasi semacam ini justru memiliki kelemahan karena konsep ini hanya membawa suara mayoritas semata sebagai suara kebenaran, dan suara minoritas dipaksa untuk mengikuti suara mayoritas yang belum tentu benar.

Baca Juga: Kecelakaan Kereta Api di India, Kasus Coromandel Express Bukan Satu-satunya yang Memakan Ratusan Orang Tewas

Adapun paham demokrasi yang dianut saat ini harus berjalan beriringan dengan paham nomokrasi (konstitusi) sebagai konteks norma tertinggi di bernegara. Hal ini memiliki konsekuensi logis bahwa meskipun suatu UU telah dibentuk oleh lembaga legislatif bersama eksekutif, namun guna menghindari terjadinya tirani mayoritas terhadap minoritas, serta dapat mendistorsi hak-hak asasi warga negara sebagaimana telah dijamin oleh UUD 1945.

"Maka untuk menjaga konstitusionalitas bernegara, mekanisme pengujian undang-undang di MK merupakan suatu cara bagi setiap warga negara dalam memproteksi dirinya dari pelanggaran terhadap hak konstitusional yang mungkin dideritanya akibat adanya keberlakuan suatu UU," kata Anwar.***

Editor: Arief Farihan Kamil

Tags

Terkini

Terpopuler