"Puluhan tahun jadi sopir bus, selama itu juga saya Lebaran di jalan. Nah sekarang bersyukur, bisa Lebaran di rumah berkumpul bersama keluarga," kata Juanda.
Juanda menyebutkan, sebelum pandemi Corona, masa mudik Lebaran adalah saat yang sibuk. Bahkan pada malam Takbiran biasanya dia masih dalam perjalanan menuju Jakarta. Baru pada siang harinya, Juanda bisa pulang ke rumah.
Baca Juga: Sosok Herdy Mulyana, Guru Penggerak Nasional Yang Berjuang Mendirikan Sekolah di Kampungnya
Pada masa H-7 sampai H+7 itu, Juanda bisa membawa pulang uang sekitar Rp 400.000 per hari. Pendapatan itu terdiri dari upah sopir dan bonus.
Namun dengan adanya kebijakan larangan mudik yang sudah dua Lebaran ini, semua penghasilan itu hilang. "Ya, sekarang mah tidak ada, jalan juga enggak," kata Juanda.
Juanda hanya bisa pasrah. Dia mengaku masih bisa bertahan hidup dengan mengisi hari-hari libur panjangnya dengan bertani di kampungnya.
Baca Juga: Harga Daging Ayam dan Sapi di Kabupaten Tasikmalaya Masih Stabil
"Sekarang juga sedang libur, ini baru pulang dari ladang memanen pisang. Sebagian akan dijual, sebagian akan dibuat sale pisang buat nanti Lebaran," tuturnya.
Dia bersyukur dengan kehidupannya karena tinggal di kampung. "Kalau di kampung mah, kita bisa menahan pengeluaran. Masih bisa tak mengeluarkan uang dua hari. Makan seadanya, asal ada beras, makan dengan lalap sambal pun jadi. Disyukuri saja, kan zamannya sedang susah begini," ucap Juanda.
Lain lagi cerita Yudi, kondektur bus Banjar-Jakarta yang merupakan warga Kota Banjar. Dia mengaku sudah sejak Lebaran tahun lalu tidak bekerja.