Pada setiap pementasan, Epos tidak menerapkan sistem tiket, penonton cukup mengisi kencleng yang diedarkan anggota Epos sebelum pementasan.
Kecuali di Bioskop Garuda, para penonton juga sudah paham, jika akan menonton pentas Epos mereka selalu membawa koran untuk alas duduk, karena tak ada kursi.
Baca Juga: Hujan Deras Guyur Sirkuit Mandalika, Dominique Aegerter Malah Asik Senang Ujan-ujanan
Pentas “Blong Merah Putih” naskah Putu Wijaya di akhir 1980-an, mungkin tercatat sebagai pentas terakhir Sanggar Epos. Pementasan digelar di Bioskop Garuda dan disesaki penonton.
Saat itu, Bambang harus bolak-balik Bandung-Tasikmalaya untuk menyutradarai pementasan ini, karena ia sendiri sudah hijrah ke Bandung untuk kuliah di jurusan teater ASTI (sekarang ISBI) Bandung.
Meski hanya dalam kurun waktu yang tak terlalu panjang, kehadiran Sanggar Epos telah menggairahkan iklim berkesenian di Tasikmalaya.
Anggotanya kelak tersebar dalam berbagai profesi, ada yang menjadi diplomat, duta besar, pejabat pemerintahan, menjadi jurnalis, perwira di kepolisian, jadi dosen, dan lain-lain.
Tapi mereka terus terikat erat dengan sanggar ini, dan rata-rata dari mereka memiliki perhatian lebih pada dunia kesenian dan kebudayaan; sesuatu yang terpantik di kehangatan proses saat bersama Sanggar Epos.
Bambang sendiri kemudian aktif di Studiklub Teater Bandung (STB) pimpinan Suyatna Anirun, dosennya saat di ASTI.