Heboh Anak Pejabat Pajak Diduga Aniaya Anak Pengurus GP Anshor, Karena Jadi Generasi Strawberi, Apakah itu?

- 27 Februari 2023, 10:51 WIB
Mario Dandy Satrio jadi tersangka kasus penganiayaan anak Pengurus Pusat GP Anshor disebut generasi Strawberi.*/TikTok/@mariodandys/
Mario Dandy Satrio jadi tersangka kasus penganiayaan anak Pengurus Pusat GP Anshor disebut generasi Strawberi.*/TikTok/@mariodandys/ /

KABAR PRIANGAN - Kasus dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh anak pejabat Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan, Mario Dandy Satrio, kepada anak Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Anshor (GP Anshor) Christalino David Ozora menjadi topik pembicaraan yang hangat netizen di dunia maya.

Terlebih lagi kasus tersebut terus berkembang merambah pada topik lainnya, termasuk sebutan netizen terhadap perilaku Mario Dandy Satrio yang disebut contoh Generasi Strawberi.
Sebuah cuitan di Twitter dari akun @rezasyariatii menulis, “Privilege orang tua hanya akan melahirkan generasi strawberi, dan orang tua strawberi akan melahirkan generasi ongol-ongol…gak percaya? Silahkan tonton penjelasan Prof. Rhenald Kasali. Anak dimanja ya jadi belatung, bukan rajawali.”

Twitt yang awalnya membahas Mario Dandy Satrio tersebut ditulis pada 21 Februari 2023, dan telah diretwitt berulang kali. Dilansir kabar-priangan.com dari laman Kementerian Keuangan pada 26 Februari 2023, istilah Generasi Strawberi pertama kali muncul di Taiwan. Sebutan tersebut ditujukan pada generasi yang lunak, lembek seperti buah strawberi. Buah ini nampak mahal, eksotik, indah, tapi ketika ditekan akan hancur dan lembek.

Baca Juga: BCA Siap Salurkan KUR 2023 Sebesar Rp1 Triliun, Simak Keunggulan Produk dan Jenis-jenisnya di Sini!

Praktisi Pendidikan dan Bisnis, Profesor Rhenald Kasali dalam buku karangannya yang berjudul Strawberry Generation menjelaskan bahwa generasi ini penuh dengan gagasan kreatif, tapi cenderung mudah menyerah dan mudah sakit hati. Hal tersebut tergambar pada laman media sosial mereka, yang banyak ide tapi juga penuh dengan curhatan keluh kesah.

Ia menganalisis mengapa fenomena tersebut bisa muncul, kemudian menjabarkannya menjadi empat hal, yaitu:
1. Melakukan Self Diagnosis tanpa melibatkan pihak ahli
Banyaknya informasi di media yang bisa diakses dengan mudah, membuat seseorang menjadi ‘ahli’ secara instan. Bahkan untuk mendiagnosis diri sendiri. Kemudian dengan mudah menyatakan sakit atau depresi, sehingga butuh healing.

Dengan menyama-nyamakan gejala, orang jadi cenderung mudah mendiagnosis diri sendiri sehingga menjadi overthinking, atau berfikiran lebih, yang sebetulnya belum tentu benar-benar terjadi. Kata healing tidak sesederhana cara mengucapkannya. Healing merujuk pada proses mengatasi kondisi mental atau psikologis yang komplek.

2. Pola asuh
Cara orangtua mendidik terkait kondisi keluaga sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Pada keluarga yang sejahtera, dengan jam kerja orangtua yang tinggi, anak-anak tidak memiliki waktu yang cukup untuk bersama orang tuanya sehingga diberi kompensasi berupa uang, dan fasilitas mewah. Hal tersebut adalah kekeliruan.

Baca Juga: 5 Tempat Wisata di Bogor yang Lagi Hits 2023 dan Mudah Dijangkau dengan Kereta, Cocok untuk Keluarga

Selain itu orang tua kerap membuat setting unrealistic expectation. Misalnya dengan menyebut anak prince, princess, membuat hidup anak menjadi mudah. Padahal pada kenyataannya, anak akan menghadapi banyak kesulitan di lingkungannya. Dan ada orang-orang yang lebih unggul dari dirinya. Hal tersebut akan membuat anak mudah kecewa dan tersinggung, ketika melihat perbedaan kondisi di dalam rumah dan di luar rumah.

3. Narasi orangtua yang kurang pengetahuan
Banyak orangtua yang menggunakan istilah-istilah tanpa mengetahui makna yang sebenarnya. Contohnya, saat ini banyak orangtua yang mengatakan anaknya moody, atau mudah berubah perasaannya. Hal tersebut akan membangun kepribadian anak seperti yang dikatakan orangtuanya ketika dewasa.

Contoh lainnya, orangtua kerap mengatakan anaknya hiperaktif ketika melihat prilaku anak tidak bisa diam. Padahal kata hiperaktif merujuk pada kondisi mental anak yang tidak dapat fokus dan membutuhkan penanganan khusus.

Baca Juga: Sang Single Figther INTM Itu Akhirnya Harus Pulang!

4. Banyak generasi masa kini yang mudah berlari dari kesulitan
Mereka angkat tangan dan memilih keluar atau melarikan diri dari keadaan sulit dari pada menghadapi dan menyelesaikannya.

Rhenald Kasali pun memberikan beberapa solusi terkait fenomena tersebut: 

1. Anak muda wajib memperbarui literasi.  Di zaman ini, kita wajib memvalidasi kebenaran dari setiap informasi.

2. Hati-hati untuk melakukan self diagnosis. Hadapi rintangan dengan sekuat tenaga, jangan mudah menyerah, dan membagikannya ke media sosial, karena segala informasi di media sosial bisa berkembang dan terkadang melebih-lebihkan.

3. Peranan orangtua. Setiap orang tua pasti ingin anaknya menjadi generasi yang lebih baik. Jangan terlalu memanjakan, dan beri konsekuensi bila melakukan kesalahan. Keberhasilan anak-anak bukan sekedar dari pengetahuan.

4. Peran pendidik harus dapat mengembangkan situasi yang menyenangkan dalam pelajaran. Keberhasilan pada kehidupan tidak sekedar dari nilai yang dicapai di kelas. Mereka yang juara kelas, belum tentu menjadi juara dalam kehidupan.

Generasi muda dalam menjawab tantangan zaman

Perbedaan yang signifikan antara setiap generasi adalah penguasaan teknologi. Generasi muda saat ini tumbuh dengan kemudahan instan yang ditawarkan oleh teknologi. Hal tersebut yang membuat generasi ini punya cara berbeda dalam memilih dan menunjukan bakatnya.

Generasi saat ini menjadi kaum rebahan karena kemajuan teknologi berkontribusi dan memantik perubahan. Dengan memanfaatkan teknologi mereka dapat berkarya darimana pun dan kapan pun dengan mudah.

Menjadikan Generasi Strawberi bermental tangguh
Dalam sebuah jurnal dikatakan bahwa buah strawberi adalah semu, bukan buah yang sebenarnya. Begitu pun dengan generasi saat ini, mental strawberi adalah mental semu yang dapat dimiliki oleh setiap generasi. Saat ini prestasi akademik tidak sepenuhnya menjamin kesuksesan masa depan. Disiplin ilmu di ruang kelas tentu dibutuhkan, tapi belum tentu relevan dengan masa depan.

Politisi sekaligus akademisi Anies Baswedan pernah mengatakan bahwa anak muda hari ini tidak perlu ditanya mau jadi apa, tapi harus ditanya mau berbuat apa dimasa depan. Karena generasi saat ini telah memiliki segalanya; kreatifitas, inovasi, dan sikap adaptif. Tapi seluruh kemampuan tersebut harus dibarengi dengan kemampuan literasi digital yang baik, agar lebih bisa memberikan kebermanfaatan.

Kolaborasi Gen Z dengan generasi yang lebih senior
Tantangan ke depan akan semakin komplek dan berat. Salah satu pemicu masalah gap generasi adalah perbedaan cara komunikasi. Gen X dan Baby Boomer cenderung lebih kaku dan formal. Sementara milenial dan Gen Z lebih casual, informal, dan santai.

Untuk generasi muda tidak ada salahnya membuka komunikasi yang lebih aktif. Meski berbeda gaya komunikasi, bukan berarti gen yang lebih senior tidak bisa bersikap santai dan kekinian. Ini adalah salah satu cara untuk mengatasi gap generasi.

Generasi yang lebih senior terkenal lebih tangguh secara mental dapat memberikan konseling dan pendampingan kepada generasi muda. Terlebih lagi dapat memberikan contoh nyata mengenai kekuatan menghadapi tekanan. Sementara generasi muda lebih luwes dalam perkembangan zaman terutama teknologi dan ide kreatif. Apabila dijalin kolaborasi akan menjadi sebuah kemajuan bersama yang tangguh.*

 

Editor: Arief Farihan Kamil


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x