KABAR PRIANGAN - Bencana tsunami yang berpusat di Samudera Hindia mengguncang Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, tepat 17 tahun lalu, Senin 17 Juli 2006. Akibat tragedi tsunami Pangandaran dengan gempa berkekuatan 7,7 Skala Richter tersebut, berdasarkan catatan data World Health Organization (WHO) ada 668 korban jiwa dan 65 orang dinyatakan hilang. Belum lagi kerugian moril maupun materil.
Kepala Resor Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Pangandaran Kusnadi mengenang tragedi tsunami Pangandaran. Menurutnya, saat terjadi bencana gempa bumi dan tsunami itu dirinya sedang bertugas di Pos Masuk Taman Wisata Alam (TWA) dan Cagar Alam Pangandaran, tepatnya di Pantai Barat Pangandaran, Kecamatan Pangandaran.
"Kebetulan saya bersama rekan-rekan sedang berada di dalam ruangan. Kemudian rekan saya melihat ombak di laut sangat surut, tidak lama kemudian ombak tersebut naik lagi sampai jalan raya," kata Kusnadi kepada kabar-priangan.com/Harian Umum Kabar Priangan di TWA dan Cagar Alam Pangandaran, baru-baru ini.
Air Laut Masuk Ruang Kerja
Selanjutnya, kata Kusnadi, ombak itu surut kembali sehingga ia mengira hanya surut biasa. Ternyata ombak balik lagi dengan gelombang tinggi. "Kan saya berada di dalam ruangan, saat air laut sudah masuk setinggi dada, rekan saya memecahkan kaca karena pintu susah dibuka akhirnya saya lari ke bukit tinggi karena dekat dengan pos tersebut," tutur Kusnadi.
Kusnadi menambahkan, meskipun dirinya berhasil lari keluar dari ruangan, rekannya yang memecahkan kaca tersebut telinga luka (robek) akibat pecahan kaca. "Alhamdulillah waktu itu berhasil bisa keluar dari ruangan tersebut. Ketika saya berada di bukit, saya melihat ombak dari Pantai Barat dengan Pantai Timur beradu, artinya ombak sangat besar," katanya.
Ikan Berserakan di Pantai
Saat ombak dari Pantai Barat dengan Pantai Timur beradu itulah dirinya melihat banyak tumpukan kaso-kaso bangunan dan perahu pecah. "Kalau secara langsung melihat korban terbawa ombak tersebut saya tidak melihat seorang pun, hanya melihat bangunan-bangunan saja yang tergulung ombak. Ketika ombak surut kembali, saya melihat ikan berserakan di pinggir pantai. Waktu itu selama tiga hari saya menangis ingat dengan keluarga di rumah," tuturnya.
Kemudian, setelah keadaan normal tidak ada tsunami susulan, Kusnadi mencari anak-anak dan istrinya. Ternyata menurut informasi mereka sudah ada di salah satu hotel di Pangandaran untuk mengamankan diri.
"Ya, Alhamdulillah ada informasi bahwa anak dan istri saya sudah mengungsi di salah satu hotel. Selanjutnya berhubung ada informasi akan tsunami susulan, pada saat itu listrik mati, saya langsung mengungsi ke Desa Purbahayu yang datarannya tinggi," ucap Kusnadi.
"Namun sebelum menjemput istri dan anak, saya ke rumah dulu mengambil barang-barang penting. Ketika itu orang lain ada yang membawa televisi bawa apalah saking paniknya," katanya.
Baca Juga: Polisi Lakukan Penyelidikan Kasus Dugaan Pencurian Data Pribadi Ratusan Warga Sukabakti Garut
Tak Ada Hewan di TWA dan Cagar Alam yang Mati
Di lokasi TWA dan Cagar Alam Pangandaran tidak ada hewan-hewan yang mati akibat tsunami itu. "Karena saya tahu bahwa hewan lebih tahu, mereka naik ke bukit-bukit tinggi yang ada di TWA dan Cagar Alam Pangandaran, kecuali tumbuh-tumbuhan banyak yang layu," katanya.
Selanjutnya, TWA dan Cagar Alam membutuhkan waktu dua tahun untuk normal kembali meskipun secara perlahan. "Saat itu sebagian orang-orang masih trauma." ujar Kusnadi.
Kusnadi berharap dari musibah tersebut diambil hikmah dan pelajaran, serta tentu saja berdoa semoga tidak terjadi peristiwa seperti itu lagi. "Bencana tsunami Pangandaran itu merupakan yang pertama kali dan jangan ada lagi yang kedua kalinya. Mungkin itu merupakan teguran dari Sang Pencipta, mari kita bersihkan Pangandaran dari segala bentuk yang sifatnya negatif," ujarnya.***