Dimana ditemukan banyak lembaga yang sampai akhir tahun anggaran 2018, tidak pernah menyerahkan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) penggunaan keuangan pada hiban bansos yang mereka terima.
Kemudian, lanjut dia, BPK menemukan adanya pemotongan dana hibah yang dilakukan oleh pihak tertentu, kepada 26 lembaga dengan nilai pemotongan sebesar Rp 2,6 miliar. Temuan BPK ini menjadi awal pihak Kejaksaan melidik kasunya.
Baca Juga: Ema Rohima, Wartawan Kabar Priangan Pekerja Keras Tutup Usia
"Kemudian, atas temuan BPK ini kita kembangkan. Sebab atas temuan tersebut tidak dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah, dalam hal ini inspektorat selaku APIP," terang dia.
Jadi, dikarenakan tindakan pemotongan dana hibah tersebut adalah perbuatan pidana dan harus ditangani oleh aparat penegak hukum (APH). Maka untuk itu, Kejaksaan Negeri Kabupaten Tasikmalaya mengambil alih penanganannya dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan.
"Pada tahap penyidikan, penyidik sudah melakukan pemeriksaan terhadap 167 orang saksi. Dan telah menyita 254 barang bukti," ungkap Syarif.
Kemudian, kata dia, dari hasil pemeriksaan saksi tersebut, ditemukan fakta adanya pemotongan dana hibah terhadap 79 lembaga. Dimana besaran potongan ini bervariasi antara Rp 5 juta sampai dengan Rp 190 juta. Hingga ketika ditotalkan, nilai pemotongan ini nilainya mencapai Rp 5,2 miliar.
Hingga kini, dikatakan Syarif, sudah ada pengembalian ke kas daerah dari pelaku pemotongan sebesar Rp 645.255.000. Namun tentunya masih ada Rp 5.280.045.000 yang belum dikembalikan. Jadi total kerugian keuangan negara Rp 5.925.300.000.
Ditambahkan Kasi Intelejen Kejaksaan Negeri Kabupaten Tasikmalaya Donny Roy Hardi SH, modus dan alur pemotongan dana hiban bansos yang dapat diuraikan tim penyidik kejaksaan ini, dimana awalnya mendapatkan informasi adanya dana hibah yang di transfer ke rekening penerima hibah. Lantas penerima menarik semua dana hibah yang diterimanya dalam bentuk tunai.