Pengalaman Guru Sepuh, H. Otong Soekarso (Bagian 1): Kenangan Bersekolah di SGB 1 Ciamis Tahun 1950-an

- 3 Maret 2023, 21:20 WIB
H. Otong Soekarso, pensiunan guru, difoto di halaman belakang rumahnya di Kampung Jagamulya, Desa Rajadesa, Kecamatan Rajadesa, Kabupaten Ciamis, awal Februari 2023.*
H. Otong Soekarso, pensiunan guru, difoto di halaman belakang rumahnya di Kampung Jagamulya, Desa Rajadesa, Kecamatan Rajadesa, Kabupaten Ciamis, awal Februari 2023.* /kabar-priangan.com/Nazarudin Azhar/

KABAR PRIANGAN - Tahun 1950-an, usia republik ini masih sangat muda. Indonesia masih
berupaya menata langkah. Masa depan baru benderang dalam angan sisa-sisa euforia proklamasi kemerdekaan, karena dalam kenyataan, ketidakstabilan politik berefek pada banyak hal. Termasuk di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Seperti daerah-daerah lain, kehidupan mayoritas masyarakat Ciamis tak beranjak jauh dari lingkaran kemiskinan. Salah satu penyebabnya adalah tingginya angka buta huruf. Hal ini tentu saja berpengaruh pada upaya masyarakat meningkatkan taraf hidup.

Kondisi ini kemudian dijawab oleh pemerintah saat itu dengan mendirikan sekolah rakyat (SR) di desa-desa di wilayah Ciamis. Anak-anak digiring untuk bersekolah tanpa harus membayar iuran, sebagai upaya memutus mata rantai kebodohan. Tujuan paling utama adalah anak-anak mampu membaca, berhitung, dan memiliki pengetahuan dasar.

Baca Juga: Ironi Gula Aren Langkaplancar Pangandaran yang Dulu Terkenal Keasliannya, Kini Sulit Dijumpai

Hadirnya SR (kemudian menjadi SD) di sebuah desa tidak lantas membuat semua orangtua antusias menyekolahkan anaknya. Masih banyak yang menganggap anak-anak lebih utama membantu orangtua bekerja.

Banyak juga yang karena kondisi ekonomi keluarga sangat buruk, merasa kerepotan jika harus menyediakan bekal setiap hari untuk anaknya yang berangkat sekolah. Apalagi jika yang tinggal di pelosok kampung yang jauh dari lokasi sekolah, mengingat pada masa itu luas sebuah desa bisa sejumlah dua sampai tiga desa saat ini. Kecemasan pun sangat menghantui para orang tua jika anak-anak harus melewati hutan dan menyeberangi sungai untuk mencapai sekolah.

H. Otong Soekarso mungkin bisa disebut beruntung. Rumah tempat tinggalnya di masa kecil tak begitu jauh dari SR Tigaherang, Kecamatan Rajadesa, Kabupaten Ciamis. Ia memang lahir di Desa Tigaherang, dan ayahnya, Oegam Partadimadja adalah guru dan kepala sekolah di SR tersebut.

Saat berbincang dengan kabar-priangan.com/ Harian Umum Kabar Priangan di rumahnya di Kampung Jagamulya, Desa Rajadesa, Kecamatan Rajadesa, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, awal Februari 2023, guru sepuh kelahiran 1935 ini menceritakan pengalamannya berjuang untuk bisa menjadi guru, cita-cita yang telah ada di benaknya semenjak ia masuk ke SR.

Baca Juga: Sayembara Penulisan Cerita Anak Berbahasa Daerah Total Hadiah Rp400 Juta Lebih, Ini Persyaratannya

Mungkin karena ia sendiri memiliki ayah seorang guru, jadi ada semacam keterpanggilan tentang apa yang akan dilakukannya di masa depan kelak yakni menjadi seorang pendidik. Cita-citanya tersebut semakin kuat setelah lulus dari SR dan melanjutkan ke Sekolah Guru B (SGB, juga kerap disebut Sekolah Guru Bantu).

Meski memiliki ayah seorang guru, tak membuat semuanya menjadi mudah. Ia seperti ditempa untuk mampu menyelesaikan setiap tantangan pendidikan dengan kerja kerasnya sendiri. Dan Otong mengalami tidak lulus SR sampai tiga kali. "Iya, bapak memiliki empat ijazah SR. Tiga tidak lulus, ijazah keempat lulus," ujar H. Otong Soekarso, sambil tersenyum.

Sayangnya, ijazahnya tersebut semuanya kini telah hilang. "Bapak juga sempat mencari lembaran ijazah itu dulu, tapi tak ditemukan, mungkin hilang saat beres-beres barang saat mau tinggal di rumah ini," kenangnya.

Dulu, lanjutnya, memang seperti itu. Anak yang tidak lulus SR juga mendapat ijazah. Ijazah tersebut bisa dipakai melamar kerja, tapi tak bisa dipakai melanjutkan sekolah. "Untuk melanjutkan sekolah, ya harus lulus. Jadi bapak dulu sampai mengulang empat kali untuk bisa lulus SR," kata H. Otong.

Baca Juga: Rumah Rusak dan Puluhan Lainnya Terancam Akibat Pergerakan Tanah di Cisompet Garut

"Bapak tidak lulus karena gagal dalam pengetahuan umum dan bahasa Indonesia. Kalau ilmu hitung nilainya selalu bagus," katanya menambahkan.

Oleh ayahnya Otong kemudian dipindahkan ke SR Bebedilan, di Ciamis Kota. SR Bebedilan saat itu termasuk sekolah elite. Lokasi bekas sekolah ini sekarang menjadi taman di samping Lapangan Lokasana. Di SR Bebedilan ini ia semakin giat belajar, tujuannya agar tahun itu bisa lulus dan melanjutkan ke SGB. "Alhamdulillah, tahun 1954, bapak lulus dari SR Bebedilan, dan mengikuti ujian masuk SGB," lanjutnya.

Pada tahun 1950-an, ujian kelas VI SR se-Kabupaten Ciamis dipusatkan di SMP Ciamis yakni SMP satu-satunya di Tatar Galuh saat itu, yang kini menjadi SMPN 1 Ciamis. Jadi bisa dibayangkan, anak-anak SR kelas VI dari berbagai pelosok datang ke tempat tersebut untuk mengikuti ujian, dan pihak sekolah masing-masing menunggu hasilnya, yang baru bisa diketahui beberapa hari kemudian.

Sering kejadian, banyak sekolah yang muridnya semua tidak lulus pada ujian tersebut. "Dulu, itu hal biasa," kata H. Otong.

Baca Juga: Rumah Dinas Camat Cipaku Ciamis tak Terurus. Dedi: Seperti 'Rumah Hantu'

Setelah mendapat ijazah kelulusan dari SR, Otong lalu mengikuti ujian masuk SGB. "Dari SR Bebedilan ada belasan murid yang ikut ujian masuk SGB dan semuanya lulus. Bapak malah mendapat nilai bagus saat itu. Masih ingat, nilai ilmu hitung 10, Bahasa Indonesia 8, dan pengetahuan umum 7. Bapak masuk ranking kedua se-Kabupaten Ciamis dan lulus SGB dengan mendapat beasiswa," ujar H. Otong menerawang.

Saat itu di Ciamis ada dua SGB, yakni SGB 1 dan SGB 2, yang lokasinya kini menjadi SMAN 2 Ciamis. Otong saat itu masuk ke SGB 1. SGB yang kalau sekarang setingkat SLTP, didirikan di berbagai daerah oleh pemerintah untuk mencetak guru-guru pengajar di SR. Saat itu, bisa
dibilang pemerintah kekurangan guru untuk mengajar.

Meski demikian, tahapan menjadi guru tetap tidak mudah. Lama sekolah di SGB yakni empat tahun. Selama tiga tahun murid-murid ditempa dengan berbagai pelajaran, seperti aljabar, ilmu ukur, ilmu hayat, ilmu alam, bahasa Indonesia, sejarah, dan ilmu bumi. Pada tahun keempat fokus pelajaran yakni pada ilmu keguruan, atau didaktik metodik.

Sebagai seorang pelajar penerima beasiswa, saat itu Otong dari pemerintah setiap bulan menerima uang senilai 144 rupiah empat ketip. Dari jumlah tersebut, dipotong untuk biaya asrama Rp 60. Sementara semua kebutuhan pelajaran seperti alat tulis dan seragam, semua telah
disediakan sekolah.

Baca Juga: Simpel! Resep Cumi Kecap Daun Kemangi, Cocok Dinikmati dengan Nasi Hangat

Jadi dari uang beasiswa tersebut murid yang mendapat beasiswa masih bisa menyimpan sisanya. Banyak siswa yang mengirimkan sisa uangnya tersebut untuk orangtua di kampung karena
untuk kebutuhan makan sudah ditanggung oleh pihak pengelola asrama. Bahkan masalah mencuci pakaian pun, dilakukan oleh petugas di asrama.

"Bapak dulu kebetulan mendapat asrama di daerah Gayam yakni di Jalan Kenari. Sekitar lima menit jalan kaki dari sekolah. Gedungnya mungkin bekas asrama tentara dulu. Ada empat kamar, dan yang tinggal seasrama dengan bapak dulu ada 12 orang," kata H. Otong.

Kehidupan di asrama penuh dengan kedisiplinan. Setiap jam makan, semua harus ada di meja makan, duduk berjejer di kursi dengan rapi. Makan pagi dan siang semua memakai seragam sekolah, tidak boleh ada yang memakai kaus. Semua murid juga harus bisa mempergunakan sendok dan garpu dengan benar.

Bahkan hal terkecil sekalipun, misalnya menutup gelas air minum, harus dilakukan dengan disiplin. Ibu asrama akan mengontrol setiap sebelum dan setelah makan. Jangan sampai ada makanan tersisa di piring, kalau ada sisa, ibu asrama akan marah.

Baca Juga: Gugatan Partai Prima Dikabulkan, Pemilu 2024 Ditunda. Ini Tanggapan Ketua KPU RI dan Menkopolhukam

"Saat makan jangan ada yang bersuara. Sebelum makan berdoa bersama, dan sehabis makan harus menyikat gigi. Begitu. Lupa menutup gelas saja ibu asrama akan marah. Biasanya dia akan bilang, 'teu hideng-hideng, dasar urang kampung!'. Kami hanya tertawa saja dalam hati, karena kami semuamemang orang kampung," ujar H. Otong, tertawa.

Jika melakukan kesalahan atau melanggar disiplin, para murid akan "dibaeudan" oleh ibu asrama, dan disetrap di depan kelas oleh guru. Masih ingat nama ibu asramanya, Pak? "Masih, namanya Ibu Aminah. Beliau orang yang baik, tapi sangat tegas dalam menerapkan disiplin pada penghuni asrama," jawab H. Otong.

Hidup di asrama saat itu laiknya tentara saja. Semua serba tertib dan tertata. Di depan pintu kamar tersedia keranjang untuk baju kotor. Setiap dua hari baju dicuci. Baju yang telah dicuci dan disetrika rapi sudah ada di lemari. Jadi para murid tak pernah mencuci baju, semua telah dilayani dengan baik oleh pihak pengelola asrama. Sementara untuk urusan makan, juga telah diatur, termasuk urusan menu.

Setiap hari semua mendapat jatah makan tiga kali, pagi, siang, dan malam. Menunya, menurut H. Otong, telah diatur sedemikian rupa, yakni pada hari Minggu ikan air tawar, Senin daging, Selasa ikan asin, Rabu tahu, Kamis daging sapi, Jumat tempe, dan Sabtu telur.

Baca Juga: PRANK Pekan Ini, Video Ayah Ajak Anak Minum Racun Tikus Viral di Garut. Ternyata Cuma Ini yang Diminum

"Jadi dalam satu hari itu menunya sama, tapi cara pengolahannya berbeda. Seperti pada hari Sabtu, pagi makan nasi sama telur dadar, siang sama telur asin, malam telur balado. Kalau sayur ada setiap hari," ujar H. Otong.

Setiap hari sekolah dilaksanakan mulai pukul tujuh sampai pukul satu siang, kecuali hari Jumat. Waktunya jumatan, semua murid pria SGB serempak pergi ke Masjid Agung Ciamis. Memakai baju dan sarung yang seragam, dan semua bersandal bakiak. Karena berjalan berombongan, maka
suara sandal yang terbuat dari kayu itu menjadi sangat ramai, dan menjadi perhatian warga di sepanjang jalan.

Sesampainya di masjid, semua murid duduk berjajar dalam satu sampai dua saf. Pelaksanaan salat Jumat ini juga diawasi oleh guru. Jadi akan ketahuan, jika ada yang tidak melaksanakan salat Jumat, atau salat Jumatnya "nundutan". "Saat jumatan guru-guru duduk di belakang kami, mengawasi," kata H. Otong.

Sepulang sekolah, tak banyak yang bisa dilakukan, selain belajar atau ngobrol dengan teman seasrama. Tak ada hiburan selain buku. Jadi, membaca buku menjadi hobi setiap penghuni asrama saat itu. Buku-bukunya pun tidak sembarangan yakni hanya yang tersedia di perpustakaan sekolah yang bisa dipinjam oleh murid.

Baca Juga: Mengenal Sosok Patung Polisi di Banjar. Gus Dur: Satu-satunya Polisi Jujur Setelah Patung dan Polisi Tidur

Yang namanya hiburan, hanya bisa dilakukan pada malam Minggu, hari Minggu, atau tanggal merah saat libur sekolah. Murid-murid SGB Ciamis bisa turni ke pinggiran kota, atau nonton film di bioskop yang ada di dekat Alun-alun Ciamis. Itupun tidak bisa dilakukan sendirian atau berdua. Jangan harap ada kesempatan untuk berduaan dengan orang yang kita taksir, karena nonton pun harus dilakukan bersama-sama, beramai- ramai, dan tentunya dalam pengawasan ibu asrama! (Bersambung)***



 

Editor: Arief Farihan Kamil


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x