Heroik, Kharismatik dan Berilmu. Inilah Sosok Pejuang Kemerdekaan Asal Bekasi

16 Februari 2023, 15:36 WIB
KH. Noer Ali, pahlawan dari Bekasi. /Tangkapan layar Facebook Mursin Baharuddin/

KABAR PRIANGAN - Kemajuan Bekasi yang kita nikmati saat ini tidak diperoleh begitu saja tapi hasil kerja keras para pejuang yang bertaruh nyawa pada masa kemerdekaan.

Mari kita mengenal lebih dekat tiga pejuang asal Bekasi yang berjasa bagi Kemerdekaan Republik Indonesia.

1. KH Noer Ali

KH Noer Ali, Pahlawan Nasional Bekasi ini dijuluki Singa Karawang. Semasa hidupnya, pria kelahiran 15 Juli 1914 ini menjadi salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia, khususnya di daerah Karawang-Bekasi.

Dalam kehidupan kesehariannya, sosok KH Noer Ali merupakan ulama kharismatik asal Bekasi. Tak hanya masyarakat biasa, para pejabat di lingkup pemerintahan juga sangat menghormatinya.

Baca Juga: Amalan Rajab di Jumat Terakhir, Melancarkan Rezeki Sepanjang Tahun

Pahlawan asal Bekasi ini dilahirkan di Desa Ujungharapan Bahagia, Babelan, Bekasi. Kala itu, daerah tersebut masih bernama Desa Ujungmalang, Onderdistrik Babelan.

Lahir sebagai anak keempat dari sepuluh bersaudara, dari orang tuanya bernama Anwar bin Layu dan Maimunah binti Tarbin.

Pada masa kecilnya, Ali dikenal sebagai anak rajin dan berbakti kepada orang tua. Selain itu, dia juga sudah terlihat taat beragama.

Di usia sekitar 8 tahun, Ali kecil bahkan sudah banyak menghafal surat-surat dalam Al Qur'an dan belajar bahasa Arab.

Baca Juga: Prediksi Tahun 2060, Populasi Jepang Menyusut. Ahli: Menambah Beban Pajak dan Sistem Jaminan Kerja

Hingga pada sekitar tahun 1934 dia merantau untuk meniti ilmu di Makkah, Arab Saudi. Di sana, dia menjadi Ketua Persatuan Pelajar Betawi (PPB) Almanhajul Khoiri.

Pada tahun 1940, Noer Ali pulang ke kampung halamannya dan membangun sebuah pesantren bernama At-Taqwa dan menikah dengan Siti Rohmah binti Mughni.

Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, pahlawan nasional Bekasi ini membentuk Laskar Rakyat yang terdiri dari 200 pemuda pada 1945. Adapun mereka adalah para santri dan pemuda di sekitar Babelan, Tarumajaya, Cilincing, hingga Muara Gembong.

Tak sekadar bertempur, sebelumnya mereka dilatih dasar-dasar kemiliteran oleh TKR Bekasi dan Jatinegara. Selain itu, para anggota Laskar Rakyat ini juga dilatih secara mental dan rohani dengan cara berpuasa.

Baca Juga: 5 Tempat Wisata Kuliner di Sumedang Berkonsep Lesehan yang Hits dan Populer, Cocok Buat Bersantai dan Healing

Pada 29 November 1945, pasukan Inggris melakukan agresi ke Bekasi. Noer Ali bersama pasukannya menghadang dan membuat mereka terpukul mundur.

Banyak pasukan KH Noer Ali yang berguguran. Peristiwa ini disebut dengan Pertempuran Sasak Kapuk karena terjadi di sekitar jembatan sasak kapuk, Pondok Ungu.

Pada 29 Januari 1992, KH Noer Ali yang mendapat julukan Singa Karawang - Bekasi wafat pada usia 78 tahun. Beliau dimakamkan di Pondok Pesantren Attaqwa Puteri, Babelan, Kabupaten Bekasi.

Guna mengenang jasanya, pemerintah memberikannya gelar Pahlawan Nasional dan bintang Mahaputera Adipradana. Penganugerahan ini didasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 085/T/Tahun 2006.

Baca Juga: Weekend Seru! Ini 6 Tempat Wisata Kuliner di Kota Cimahi, Ada Menu Ramen Ala Indonesia Hingga Makanan Korea

Pemberian gelar tersebut dilakukan langsung oleh Presiden SBY kepada salah satu putranya di Istana Negara, Jakarta pada 9 November 2006.

2. Engkong Usman

Sedikit asing di telinga dan bahkan jarang di ketahui umum, bahwa di Bekasi ternyata hidup seorang pejuang kemerdekaan bernama Usman, atau lebih dikenal sebagai Engkong Usman.

Sosok yang kini berusia lebih dari satu abad itu merupakan veteran sekaligus murid langsung dari Pahlawan Nasional asal Bekasi, Kyai Haji Noer Ali.

Meski berusia lebih dari satu abad, ingatan Engkong Usman masih kuat. Ia dengan lantang menceritakan sejumlah pertempuran yang pernah terjadi di Bekasi, di mana ia ikut berjuang.

Baca Juga: Bacaan Doa untuk Peringati Isra Miraj Lengkap dengan Artinya

Suaranya yang khas dan penuh semangat kala menceritakan perjuangan kemerdekaan kalau itu.

Awal perjuangan Engkong Usman dimulai saat ia bergabung dengan Seinendan, organisasi bentukan Jepang pada 1943.

Seinendan adalah sebuah organisasi barisan pemuda yang dibentuk untuk mendidik dan melatih para pemuda agar dapat mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan sendiri.

Semasa menjadi anggota Seinendan, berperang adalah makanan sehari-hari bagi nya. Ia juga bercerita, bahwa saat pertempuran terjadi di Kali Abang Bungur, temannya yang bernama Salam, tertembak di bagian punggung belakang sebelah kanan.

Baca Juga: Padang Savana ala Bekasi Tak Kalah dengan Afrika, Simak 5 Tempat Wisata di Kota Industri yang Memesona

Semoga Engkong Usman sehat selalu dan dapat memberikan inspirasi semangat juang dan tanggung jawab mempertahankan kemerdekaan.

3. KH Makmun Nawawi

KH Raden Makmun Nawawi tidak hanya dikenang sebagai tokoh Lakar Hizbullah pada zaman revolusi, sosok yang akrab dipanggil Mama Cibogo ini juga merupakan ulama yang teguh di jalan syiar Islam.

Pria kelahiran Desa Cibogo, Cibarusah, Kabupaten Bekasi ini sangatlah produktif dalam menulis kitab-kitab islami. Bahkan, jumlah karyanya mencapai puluhan buah.

Baca Juga: Kasus Perampok Nekat di Minimarket Karangnunggal Tasikmalaya yang Viral, Tersangkanya Ternyata Tukang Parkir

Dalam buku Peranan KH Raden Ma’mun Nawawi dan Laskar Hizbulloh (2019), dijelaskan bahwa Mama Cibogo sejak kecil sudah akrab dengan dunia literasi.

Sebagai anak-anak, dirinya pernah membantu ayahnya berjualan kitab kitab. Menginjak masa remaja, ia mulai melatih kemampuannya dalam menulis.

Hingga akhirnya, saat berusia dewasa, ia tidak hanya sibuk mengasuh pesantren, tetapi tetap juga berkarya.

Mama Cibogo memiliki kebiasaan untuk mencatat apa saja yang diperolehnya dari hasil membaca kitab-kitab.

Baca Juga: Angin Kencang Siang Bolong di Sidamulih Pangandaran Tumbangkan Pohon Albasia, Satu Rumah Rusak Berat

Ia rajin menelaah karya-karya ulama terdahulu. Bila ada bagian tulisan yang dianggapnya penting, maka itu kemudian dinukilnya sebagai bahan referensi menulis.

Selama hidupnya, setidaknya ada 63 kitab tulisan Mama Cibogo, di antaranya, ada yang ditulis dengan aksara Arab dan berbahasa Sunda.

Ia akrab dengan alim ulama Betawi, seperti KH Muhammad Thohir Rohili, Habib Ali Kwitang, dan Guru Mansur.

Beliau meninggal dunia pada usia 63 tahun, yakni pada 26 Muharram 1395 atau 7 Februari 1975. 

Baca Juga: Mahasiswi Pembuang Bayi hingga Meninggal di Sindangrasa Ciamis, Divonis 3 Tahun Penjara dan Denda Rp100 Juta

Seorang ulama besar asal Bekasi yang juga pahlawan nasional, KH Noer Ali, menjadi imam shalat jenazahnya saat itu.

Pemakaman almarhum diiringi lautan manusia yang sangat berduka atas kepergiannya.

Pondok Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat merupakan salah satu dari beberapa peninggalan KH Makmun Nawawi.

Pesantren tertua di Bekasi tersebut kini diasuh oleh salah satu dari putranya sendiri, yaitu KH Jamaluddin Nawawi.

Baca Juga: Pedagang Es Krim di Garut yang Diduga Sebabkan Keracunan Massal Diamankan Polisi

Saat ini umur Pondok Pesantren Al-Baqiyatussolihat sudah 83 tahun. Pesantren yang berdiri di atas tanah seluas 2995 m2 ini tetap eksis dan terus mencetak generasi Muslim yang saleh dan berilmu hingga sekarang.***

Editor: Dede Nurhidayat

Tags

Terkini

Terpopuler